Mohon tunggu...
Srielen Pomulu
Srielen Pomulu Mohon Tunggu... Penulis - Habis Tinta

Biodata Pribadi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pergeseran Nilai pada Hari Per-empu-an

12 Maret 2020   23:45 Diperbarui: 22 Desember 2020   01:29 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Beberapa hari yang lalu, kita baru saja memperingati Hari Perempuan se Dunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret. Hari Perempuan se Dunia ini kerap kali dirayakan setiap tahunnya oleh banyak kalangan, mulai dari: Perempuan Buruh, Mahasiswa, LSM, dan Organisasi lainnya yang memiliki komitmen soal kesetaraan gender. Momen Hari Perempuan se Dunia ini juga kerap kali menjadi instrumen kampanye isu-isu yang sedang populer bagi perempuan.


Contohnya pada tanggal 9 Maret 2020 kemarin, kami dari Aliansi Peduli Perempuan Sulut menggelar aksi peringatan Hari Perempuan se Dunia itu, dengan tema: ”Semua Orang Setara: Dunia yang Setara Adalah Dunia yang Memberdayakan.” Dan mengusung isu kekerasan seksual yang semakin hari semakin meningkat, serta mendesak RUU P-KS disahkan dan menolak RUU KK.
Dalam orasi-orasi yang disampaikan oleh para orator pasti semua berkaitan dengan isu tersebut. Selain isu itu, saya juga ingin dan merasa perlu untuk merefleksikan kembali apa yang menjadi spirit perjuangan perempuan masa itu, semisal: tuntutan pengurangan jam kerja, hak pilih, persamaan hak di ruang publik dan semangat-semangat perlawanan yang waktu itu menjadi spirit perjuangan mereka.


Bukan tanpa alasan saya lebih menekankan apa yang menjadi semangat juang perempuan terdahulu, tapi berangkat dari apa yang saya amati di setiap ada perayaan-perayaan hari perempuan, tidak sedikit postingan-postingan di media sosial soal ucapan-ucapan yang saya lihat justru bukan menjadi semangat juang para perempuan dahulu. Semisal postingan teman saya sewaktu peringatan Hari Ibu di akun sosial medianya “Terimakasih sudah merawat, membesarkan, dan menjaga saya dari kecil hingga dewasa, selamat Hari Ibu.”  Ada juga yang menulis di Hari Perempuan se Dunia, “Hanya perempuan yang bisa memberikan cinta kasih yang begitu tulus sehingga membawa kedamaian dalam rumah, selamat Hari Perempuan se Dunia."


Tidak ada salahnya jika memang mengucapkan terimakasih kepada perempuan yang menjaga rumah dan mengurus anak, hanya saja terjadi pergeseran nilai, di mana kemudian hari itu hanya diperingati sebagai penghormatan kepada peran seorang ibu di ruang domestik, padahal perlu diketahui bahwa Hari Ibu dan Hari Perempuan se Dunia, itu ada karna semangat perlawanan terhadap domestifikasi, ketidakadilan, dan diskriminasi yang dialami oleh para perempuan, serta semangat pembebasan nasib dari perempuan. Namun ironisnya, malah menjadi hari perempuan dometikal. 

Maka dari itu, saya lebih tertarik merefleksikan apa yang menjadi semangat juang para perempuan terdahulu, agar nilai-nilai perjuangan kaum perempuan tidak terlupakan. Semoga para Puan tidak menelan mentah-mentah euforia semacam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun