Mohon tunggu...
Sri Defina
Sri Defina Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mencegah Kasus Beras Busuk Terulang

7 Maret 2019   20:55 Diperbarui: 7 Maret 2019   21:30 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat dengan temuan 6000 ton beras busuk di gudang Badan Urusan Logistik (Bulog) Sumatera Selatan? Miris rasanya mengingat beras sebanyak itu menumpuk dan terbuang begitu saja. Mubazir yang sangat kelewatan. Bila benar mubazir itu temannya setan, maka setan pun akan memusuhi manusia yang membuang beras sebanyak itu. 

Rujukan 1

Kini kasus 6000 ton beras busuk di Sumsel itu sedang masuk dalam ranah penyidikan hukum. Harus ada pihak yang bertanggung jawab atas kasus tersebut. Bisa dibayangkan, berapa banyak uang terbuang percuma untuk pengadaan beras sebanyak itu. Dan para petani pun bisa lebih sedih lagi. Bila waktu kecil kita sering diingatkan bahwa petani akan menangis manakala makanan kita bersisa, apa kabar petani yang tahu bahwa 6000 ton beras yang ditanamnya dengan susah payah, kini terbuang percuma? 

Ironisnya, belum tuntas kasus 6000 ton beras busuk di gudang Bulog, kini terdengar lagi ada 12 ribu ton beras yang masih menumpuk di gudang Bulog yang ada di Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. Hingga kini beras itu masih belum dipastikan pendistribusiannya.

Penumpukan itu sendiri diakui Kepala Subdivre III Bulog, Jawa Timur. Berdasarkan penjelasan mereka, saat ini penyaluran beras di Bulog memang lambat. Itu karena pangsa pasar berkurang drastis. Sehingga, untuk mendistribusikan beras itu Bulog hanya mengandalkan operasi pasar (OP).

Rujukan 2

Tersendatnya penyaluran beras Bulog itu terjadi sejak dihilangkannya program beras sejahtera (rastra) oleh Kementerian Sosial (Kemensos) tahun lalu. Hitungan kasarnya, Bulog memang kehilangan 70 persen pangsa pasar. Sebab, selama ini Bulog hanya mengandalkan dari penyaluran rastra. 

Tidak banyaknya beras terdistribusi juga membuat penyerapan tidak bisa berjalan maksimal. Sebab, stok di gudang juga masih melimpah. Selain itu, harga gabah di tingkat petani saat ini tergolong tinggi. Yakni mencapai Rp 4.500 per kilogram (kg). Padahal, sesuai inpres Nomor 5/2015 harga pokok pembelian (HPP) gabah adalah Rp 3.700 ditambah 10 persen per kg. Kondisi itu membuat petani lebih memilih menjual gabahnya ke tengkulak. Selain itu, sejumlah mitra Bulog juga masih enggan menjual ke Bulog. Harga yang mahal juga membuat mereka menjual ke pihak lain. 

Semoga saja penyerapan beras petani bisa terjadi pada masa panen nanti, ketika harga turun dan Bulog bisa membeli sesuai ketentuan harga. Namun jangan sampai penyerapan beras tadi tidak diimbangi dengan pendistribusian stok yang ada di gudang. Karena mutu beras akan semakin berkurang bila dibiarkan teronggok di gudang. Nanti kasus 6000 ton beras busuk bisa terulang lagi. Dan kali ini, bahkan bisa lebih parah lagi. Karena stok yang ada di gudang Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan jumlahnya dua kali lipat dibanding Sumatera Selatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun