Regenerasi petani adalah momok yang menakutkan bagi masa depan pertanian kita. Seolah tidak ada lagi anak muda yang mau bertani. Ada anggapan bahwa pekerjaan bertani tidak bergengsi. Ada juga anggapan bahwa petani lekat dengan kemiskinan.
Anggapan-anggapan itu sebenarnya tidak salah-salah amat. Meski sebenarnya juga tidak tepat. Tapi memang imaji petani yang kadung berkembang di masyarakat sulit terbantahkan. Ranah pertanian terkesan wilayah kerja yang sulit, butuh banyak tenaga, serta sedikit menghasilkan.
Rupanya, masalah itu tidak sebatas pupuk mahal saja. Para petani di desa itu juga sering merasakan pupuk yang terlambat disalurkan. Kalaupun ada, jumlah yang diterima petani juga terbatas atau tidak mencukupi. Padahal, kurangnya pasokan pupuk akan berdampak terhadap tanaman para petani. Hal ini belum ditambah dengan persoalan serangan hama. Â
Kalau buka-bukaan soal harga jual hasil tanaman padi petani yang hanya antara Rp 60 ribu sampai Rp 65 ribu per blek. Sedangkan modalnya jauh lebih besar. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan petani, lebih besar ketimbang untuk satu kali panen dalam satu tahun.
Masalah semacam itu, Cuma bisa diselesaikan oleh keputusan politik yang tinggi. Karena masalah pupuk yang kemahalan di Batola itu sudah berlangsung menahun. Para petani seperti terus menerus tersandera oleh harga pupuk yang kemahalan sehingga para petani hanya bisa menikmati sedikit margin dari produksi padi mereka.
Tidak heran bila sektor pertanian jadi tidak menarik di mata orang kebanyakan. Karena mereka bisa melihat bagaimana sulitnya untuk mencari nafkah di sektor ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H