Bila ada yang mau tahu dampak negatif dari alih fungsi lahan pertanian, maka mereka harus berkaca pada kondisi yang terjadi pada Maidun. Kota di Jawa Timur itu tidak bisa mencukupi kebutuhan beras sehari-hari untuk warganya sendiri.
Itu terjadi karena lahan pertanian di Kota Madiun digerus oleh alih fungsi lahan. Sawah yang dulu luas, kini berkurang atau bahkan menghilang. Berubah menjadi perumahan atau pertokoan. Karena saat ini, ada semakin banyak warga dari desa sekitar Madiun, bermigrasi ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik.Â
Menurut taksiran Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Madiun, kira-kira setiap tahunnya terjadi pengurangan luas lahan pertanian seluas 2 persen. Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Madiun mencatat luas lahan produktif di Kota Madiun pada tahun 2016 mencapai 926 hektare, tahun 2017 turun menjadi 923 hektare, dan sampai akhir tahun 2018 menjadi 901 hektare.
Konsekuensi logis dari berkurangnya lahan pertanian tersebut adalah defisit pasokan beras ke Kota. Dalam setahun kebutuhan konsumsi beras masyarakat di Kota Madiun mencapai 13.800 ton. Sementara, beras hasil produksi pertanian yang mampu disediakan oleh petani Kota Madiun hanya sekitar 11.000 ton. Untuk menutup kekurangan itu, Kota Madiun bergantung pada pasokan wilayah tetangga, di antaranya Kabupaten Madiun.Â
Untuk menekan alih fungsi lahan, sebenarnya Pemkot Madiun sudah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) Wilayah Kota Madiun tahun 2010 hingga 2030.
Dalam perda tersebut terdapat lahan pertanian berkelanjutan yang dilarang untuk dialihfungsikan, yakni seluas 444 hektare hingga tahun 2030.
Adapun, wilayah yang ditetapkan untuk pengembangan kawasan pertanian tanaman pangan (sawah) sebagai lahan pertanian berkelanjutan, terdapat di daerah Kelurahan Kejuron, Pangongangan, Demangan, Kuncen, Josenan, Manguharjo, Kelun, Tawangrejo, dan Rejomulyo.
Tapi aturan itu juga tidak berdaya bila dihadapkan dengan kondisi sektor pertanian saat ini. Selain faktor sawah yang semakin menyempit, petani juga semakin sedikit. Generasi muda di wilayah itu merasa profesi petani kurang bergengsi.Â
Apalagi tidak ada insentif atau faktor penarik yang bisa menggugah semangat bertani generasi muda. Maka jadilah profesi petani sebagai pekerjaan jalan buntu. Tidak ada harapan. Padahal, di tangan petani lah nasib isi perut kita sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H