Di tengah sibuknya para peserta didik menimba ilmu di sekolah, tak jarang kita juga mendengar kabar kurang menyenangkan terkait murid-murid yang tertumbuk perundungan. Di saat ambisi para pelajar berkobar mengejar beragam mimpi dan cita-cita, seiring itulah kita tak bisa pungkiri persaingan sengit kerap terjadi tanpa toleransi. Sifat dan sikap tiap anak yang jelas tidak sama, entah terbentuk karena contoh-contoh yang didapat dari lingkungan sekitar keluarga atau pergaulan lingkar pertemanan, membuat mereka memiliki karakteristik bawaan pribadi yang tidak mudah ditebak. Hal ini tak jarang menyulitkan orang lain mengantisipasi kalau-kalau perilaku yang tertuang malah sebuah perbuatan tercela. Sebab dan faktor pemicu munculnya tingkah tidak menyenangkan itu pun, kadang masih menjadi tanda tanya, terlebih jika hal-hal buruk tersebut terjadi di sekolah.
Bagaimana mungkin tempat di mana anak-anak mendapatkan pemahaman ilmu pengetahuan dan pendidikan yang baik masih saja didapati siswa-siswi melakukan tindakan tidak terpuji?
Pertanyaan panjang itu jelas bukan yang pertama dan nyaris dapat kita yakini bukan yang terakhir. Baru-baru ini saja, tepatnya pada Sabtu (24/2/2024), kita dibuat geleng-geleng kepala sambil mengelus dada bagaimana kasus intoleransi-perundungan-pelecehan kembali terjadi di sekolah. Yang parahnya, para pelaku kian tak malu mempertontonkan aksi kotornya melalui konten yang di-posting di media sosial. Berdasarkan laporan dari CNN Indonesia, korban yang berinisial HA (12) yang merupakan siswa SD di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sedang tidak berbusana mendapat perlakuan keji dari para anak laki-laki seangkatannya dengan cara didorong, ditendang, serta dipukul di salah satu ruangan.
Persoalan tersebut sudah semestinya menjadi catatan tersendiri yang harus semakin ditingkatkan kepedulian untuk segera mendapat solusi efektif dan permanen dalam penyelesaiannya. Menghindari tragedi bunuh diri yang sudah bukan asing menjadi ujung titik bagi para korban yang frustasi dan lahirnya korban-korban baru adalah acuan dari pertanyaan "bagaimana" pada wacana kali ini akan dibahas.
Sebetulnya selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekhnologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim sudah mencanangkan program-program penghapusan untuk macam tindak kekerasan yang terjadi di sekolah. Dalam rangkumannya; intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual (pelecehan) menjadi tiga pokok utama aspek pembasmian perilaku tercela tersebut. Nadiem menamainya dengan label tiga dosa besar pendidikan. Membuktikan Kemendikbudristek ikut bertanggung jawab menghapus tiga dosa besar pendidikan, terbentuknya Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) dan diubahnya standar belajar menjadi Kurikulum Merdeka serta pemetaan mutu nilai murid dari ujian nasional berganti menjadi Asesmen Nasional adalah program-program yang nyata yang telah dilahirkan untuk kuat menopang lancarnya metode berjalan.
Namun, seperti yang sudah diterangkan di awal wacana ini, kenyataan mengenai masih maraknya kasus-kasus berlabel tiga dosa besar pendidikan itu menunjukkan sedikitnya, jika program usulan Kemendikbudristek tak bisa berjalan sendiri. Tentu saja. Tanpa diiringi kepedulian tinggi oleh pihak sekitar lingkungan sekolah dan kesadaran pribadi yang tinggi dari tiap murid untuk menjunjung nilai-nilai terpuji menjadikan wacana Kemendikbudristek tak mustahil berakhir dengan sia-sia.
Bagaimana sebaiknya sebagai pribadi memberikan kontribusi untuk ikut memusnahkan tiga dosa besar pendidikan tersebut?
Menjawab itu, kita tentu perlu mengulik lebih dalam ke jauh lubuk hati yang terpendam. Secara personal. Hal ini sangat bersangkutan dengan sifat. Karena pada hakikatnya, sifat yang erat kaitannya dengan kebatinan ini adalah aspek utama pendorong tiap pribadi memutuskan suatu langkah sebelum sikap yang akan tergambar jelas melalui tindakan baik atau buruk kemudian. Intinya, untuk menghindari sifat tercela tumbuh, bibit nilai-nilai terpuji perlu ditanam dari sejak dini.
Terkait pembentukan suatu karakter bukanlah urusan yang mudah, kekonsistenan dalam metode pembelajaran perlu benar-benar terlaksana. Pembimbingan yang tepat dari tenaga didik maupun keluarga perihal pembentukan karakter pelajar wajib dilakukan dengan sungguh-sungguh. Adapun nilai-nilai yang harus sesegera mungkin menjadi bagian keseharian dari tiap pribadi yaitu:
* Menghayati Makna dan Menghargai Pancasila
Tidak hanya lewat penghafalan semata, mengamalkan tiap sila yang tertera adalah bentuk tanggung jawab yang perlu ditekankan pada tiap anak. Ketika murid-murid sudah mengerti arti dari tanggung jawab itu sendiri, sebaiknya beri mereka pemahaman mendalam akan keharusan menjalankannya. Menjalankan setiap sila dengan ikhlas dan teguh adalah bentuk menghargai Pancasila dengan cara terbaik.
* Mematuhi Peraturan Perundang-Undangan Negara
Peningkatan rasa ingin tahu dan tidak malas untuk belajar lebih jauh mengenai perundang-undangan di negara perlu terus didorong oleh semua pihak terkait pendidikan. Ketika sikap kepedulian menganalisis dan menafsirkan perundang-undangan terutama mengenai pasal-pasal perlindungan anak dan hak asasi manusia terus berlanjut, ini bisa membantu tiap murid untuk menginstropeksi diri serta-merta sadar diri. Sehingga perasaan malu dan takut bisa tumbuh. Takut, malu, dan tunduk di bawah aturan-aturan negara yang telah ditetapkan tentu baik untuk melatih kedisiplinan siswa-siswi dalam menjalankan kesehariannya agar lebih tertata.