Mohon tunggu...
Tin DeTina
Tin DeTina Mohon Tunggu... -

Hanya seorang istri dari seorang suami

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku, Istri, Ikut Suami, Jatuh Bangun (1)

4 November 2011   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:04 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami pindah ke Jakarta pada tanggal 11 April 2000. Gerakan Riau Merdeka menuntut pembagian hasil  minyak bumi yang selama ini kontribusinya sangat kecil bagi masyarakat Riau. Gerakan ini di pelopori oleh Dr Tabrani Rab. Demo terjadi di mana mana. Preman dan penjahat memanfaakan peluang.  Mereka memalak pemilik toko dengan berbagai tindak kekerasaan. Akibat akumulasi tindak kejahatan yang semakin tinggi, suamiku memutuskan pindah ke Jakarta. Padahal kehidupan kami di Dumai sudah sangat baik dan mapan.

Tiba di Jakarta, kami menumpang seminggu di rumah adik ipar. Setelah itu mengontrak di Jl Setia, Kedoya, Jakarta Barat.  Kontrakan ini sempit. Hanya 3 meter lebar kali 7,5 panjang. Tak ada kamar. Kami tidur bagai gelandangan.

Setahun kemudian, kami pindah ke Bekasi. Tepatnya ke Taman Harapan Baru Blok S14 no 10. Rumah masih status ngontrak tapi bagus. Lebarnya  6 m dan panjangnya 10m. Dua kamar, sedikit dapur, kamar mandi dan ruang tamu yang lega, serta teras. Terasnya kami bikin warung. Suamiku selalu berkata: Jangan habiskan waktumu untuk menonton TV. Carilah pekerjaan yang bisa memberikan manfaat. Paling engga membaca.

Sejak pindah ke Jakarta, suamiku ikut temannya bermain saham di Sentra Investasi Danareksa di ITC Mangga Dua. Setiap hari dia bolak balik naik kereta.

Kami mulai tinggal di Bekasi sejak tanggal 1 Juli 2001. Walaupun suamiku pemain saham, dia tak segan bekerja keras. Di depan rumah semua tanaman bunga dia yang tanam. Warungnya aku yang jaga, tapi menambah stock barang dilakukan oleh suamiku. Dia membawa motor  dan berbelanja di Goro, Pekayon, Bekasi.

Tanggal 28 September 2001, ini tanggal yang tak mungkin kami lupakan seumur hidup. Pagi ini saat sarapan kukatakan pada suamiku banyak stok barang yang habis. Suamiku tak jadi berangkat ke Mangga dua.  Jam 9.30 Dia naik motor (yang paling murahan) Sanex ke Goro untuk berbelanja.

Jam 11 siang, anakku yang baru klas 2 SD pulang sekolah. Kusuruh menjaga warung karena aku harus memasak. Hanya 10 menit aku berada di dapur, kudengar teriakan

“ Kebakaran ! Kebakaran !”

Aku berlari keluar. Kaget dan terpana. Warungku sudah dilahap api. Api berkobar kobar  akibat meteran listriknya entah korsleting atau meledak. Buru buru Aku menarik Ai keluar ke jalan raya. Setelah itu baru aku teringat Jk yang  sedang tidur di kamar. JK belum genap 2 tahun. Buru buru aku berlari ke kamar menyelamatkan Jk. Tetangga sudah berteriak teriak sangking paniknya. Kugendong Jk keluar dan berdiri terbengong di luar. Baru kuingat kata kata suamiku : Andai terjadi kebakaran, hal paling pertama diselamatkan adalah anak anak, setelah itu berusahalah menyelamatkan dokumen. Aku ingat dokumen kami tersimpan di kamar belakang. Aku berlari masuk lagi ke dalam rumah meski banyak sekali jeritan mencegahku.

“ Jangan masuk, Bu Sri ! Jangan masuk !!!!”

Aku tak memedulikan teriakan mereka. Aku masuk ke kamar belakang menyambar tas. Sejak pindah ke Jakarta kami belum membeli lemari ataupun prabot. Semua pakaian di tumpuk dalam kardus, atau digantung.  Aku berlari keluar di bawah hujan air got yang di siramkan para tetangga untuk memadamkan api. Sebagian tetangga berusaha mengeluarkan barang melalui pintu yang belum terbakar.

“ Pak De ! Telpon pak De ! “ seru pak RT. Di komplek kami kebanyakan  wiraswastawan kecil yang buka kios atau toko, sebahagian lagi pegawai Teh Sosro. Kalau orang Islam, hari jumat banyak yang tidak  membuka usahanya demi sholat Jum’at.

Meski panik aku bolak balik menyelamatkan apa yang bisa kuselamatkan sehingga tak mendengar teriakan pak RT. Pak RT yang menelpon suamiku. Hujan  tiba tiba turun ! Api berhasil melahap separo rumah kami,tertama bagian kirinya.

Setengah jam kemudian suamiku tiba dengan muka pucat pasi! Banyak tetangga yang mengerubunginya memintanya bersabar atas musibah ini.

“ Mana anak anak ?!” tanya suamiku.

“ Di rumah …. tetangga,” jawabku. Kedua anakku di bawa Tante Lis entah kemana.

“ Tenang, pak De. Anak anak selamat. Bersabar ya… ini musibah… Yang penting semua selamat. Harta masih bisa dicari,” Pak RT terus mendampingi  suamiku. Polisi datang. Pak RT mendampingi suamiku menjawab pertanyaan polisi. Dan syukurlah, suamiku tidak ditahan.

Tetangga sangat berbaik hati. Semua memberikan makan siang dan menyumbang banyak sekali pakaian. Kami satu RT satu cluster warganya sangat banyak, 176 KK.  Suamiku terbengong  seperti patung. Kalau gak ditanya, dia gak ngomong sama sekali. Sorenya kami dicarikan tumpangan di rumah kosong yang belum di huni. Malamnya diadakan rapat mendadak tanpa kehadiran suamiku karena suamiku diam  saja kayak patung.

Jam sepuluh malam warga yang ikut rapat mendatangi rumah kami. Pak RT mewakili Warga menyerahkan sumbangan warga dalam bentuk tunai sebesar Rp 3 juta lebih. Sejak menikah, inilah kali pertama aku melihat suamiku menangis ketika menerima sumbangan warga sesama RT kami. Begitu solider… Aku ikut meneteskan airmata.

Pihak pemilik rumah meminta kami mengganti kerugiannya. Pak RT  marah  karena pak RT membela kami mengatakan korsleting  bukan kesalahan manusia.  Pemilik rumah ngotot. Akhirnya suamiku mengalah. Ganti ya gantilah, tapi tunggu aku punya uang.

Berkat campur tangan pak RT, pemilik rumah melunak. Kami diwajibkan memperbaiki kerusakan dengan imbalan boleh menetap selama 3,5 tahun di rumah itu.

Peristiwa 911 telah merontokkan perdagangan saham. Saham saham turun drastis. Saat kami mengalamai musibah kebakaran, saham saham yang dibeli suamiku anjlok parah sehingga tak bisa menjual. Tanpa menjual kami tak bisa memperbaiki rumah. Mau tak mau suamiku menjual sahamnya meski kerugiannya sangat besar.

Sudah jatuh ditimpa tangga.

Suamiku berubah sangat pendiam. Setiap pagi dia berjalan keliling komplek, menawarkan jasa membersihkan got atau menebas rumput. Aku ingin menangis melihat pekerjaan kotor, tapi suamiku selalu berkata ” Ini cobaan Tuhan, harus kita lalui… Harus kita jalani dengan tabah…”

Di Komplek kami masih terdapat beberapa tanah kosong. Ini karena letaknya tusuk sate, bernomor 13, atau hook. Letak hook menyebabkan  ada sisa tanah sehingga harganya lebih mahal. Hanya orang yang lebih kaya yang sanggup membelinya.

Suamiku bertanya tanya pada pak RT, siapa saja pemilik tanah kosong itu. Ternyata banyak yang masih dalam status milik developer. Suamiku meminta izin pada pak RT untuk menggarap tanah tanah kosong itu.

Setiap sore suamiku pergi ke Bulevar, bertanya pada petani disana gimana cara menanam kangkung, bayam, sawi, kacang panjang. Banyak petani yang berbaik hati menjelaskan cara cara mengolah tanah, menyiram dan memberi pupuk, termasuk takaran pupuknya.

Mulailah suamiku membabat rumput tanah kosong itu, mencangkulnya, membuatnya menjadi alur demi alur.  Ada 4 tanah kosong yang digarapnya. Satu tanah kosong untuk menanam satu jenis sayuran.  Setiap kali melihat suamiku membawa cangkul ke tanah kosong itu, aku selalu ingin menangis. Dari pemilik Swalayan di Dumai, berubah jadi pemain saham, sekarang menjadi petani…..  Kenapa Tuhan memberikan cobaan seberat ini?

Benih di tabur, setiap pagi dan sore di siram dengan air got. 5 hari menjelang panen baru disiram dengan air bersih…

Kangkung, bayam dan Sawi ternyata sangat cepat tumbuhnya. 21 satu hari sejak ditanam sudah bisa dipanen. Alangkah bahagianya saat kita melihat tanaman sayuran yang hijau hijau itu. Segar…. subur…. menggemaskan.

Tanaman kami diserbu pembeli. Kebanyakan yang beli warga RT kami, kemudian banyak RT tetangga yang juga datang membeli. Terakhir tukang sayur juga ingin membeli sayuran kami…

Sekali lagi aku ingin menangis. Seikat kangkung memang harganya cuman 500 rupiah, tapi itu hasil keringat suamiku ! Aku ingin menangis melihat ketabahannya…

Itulah suamiku, Deri Prabudianto, yang kalian kenal  sebagai penulis serial Dewa Cinta….

Bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun