Mohon tunggu...
Sri Amelia
Sri Amelia Mohon Tunggu... Petani - tentang saya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seorang pengamat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyoroti Perbedaan Data Produksi Beras

21 Mei 2019   19:02 Diperbarui: 21 Mei 2019   19:04 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polemik perberasan nasional kerap kali dipicu oleh satu masalah, perbedaan data produksi beras besutan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan). 

Kita tentu masih ingat ketika tahun lalu terungkap ketimpangan data setelah BPS merilis data surplus produksi beras 2018 yang hanya mencapai 2,8 juta ton, jauh di bawah data atau perhitungan Kementan.

Berdasarkan laman resmi Kementan, surplus beras tahun 2018 mencapai 13,03 juta ton. Perhitungan tersebut dari produksi beras 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, sementara total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton.

Masih di tahun yang sama, Kementan mengeluarkan data produksi gabah kering giling mencapai 83,3 juta ton. Sementara BPS mengeluarkan data produksi sebesar 56,5 juta ton.

Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menyoroti perbedaan angka produksi yang mencapai hingga 47%. "Tahun 2018 BPS melakukan kajian bernama KSA dan disupport Kemenko, dan 2018 data BPS produksi kita 56,5 juta ton gabah kering giling. Kalau Kementerian Pertanian produksi 83,3 juta ton. Ini ada perbedaan 47% lebih tinggi dari Kementan," ungkap dia dalam diskusi publik di Jakarta, hari ini.

Perbedaan data tersebut pun berimbas pada kegiatan impor yang meningkat. Dwi mencatat di tahun 2015 hingga 2018 impor beras rata-rata sebesar 1,1 juta ton. Padahal, impor beras di tahun 2005 hingga 2014 rata-rata hanya mencapai 0,9 juta ton. "Jadi impor beras rata2 2005-2014 rata-rata 0,9 juta ton. Tetapi 2015-2018 jadi 1,177 juta ton. Jadi ini ada masalah di produksi beras kita," terangnya.

Asisten Deputi Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi Sensudi menjelaskan saat ini pihaknya hanya berpegang pada satu data, yakni BPS. Jika pun ada perbedaan, maka hal itu akan dikoreksi mengikuti data satu pintu. "Perbendaan data ini sudah berkali-kali kita koordinasi. Tapi sekarang kita pakai dari BPS, kita pakai satu data dari BPS. kalau ada perbedaan data kita koreksi," tegasnya.

Bagaimana perberasan nasional kita bisa maju, jika data produksi beras saja kita belum satu suara. Kementan selaku kementerian teknis terkait seharusnya bertanggungjawab dalam menyediakan data yang valid. Yang terjadi justru sebaliknya, data yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya.

Rujukan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun