Dari sekian banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan pelat merah, hanya Badan Urusan Logistik (Bulog) yang masih berstatus perusahaan umum (Perum). Keistimewaan itu terjadi karena Bulog punya penugasan dari pemerintah untuk menjamin ketersediaan bahan pokok dengan harga terjangkau. Dengan kata lain, Bulog adalah sandaran terakhir bagi perut rakyat yang kelaparan.
Garis tangan demikian harusnya dipahami oleh Bulog, tanpa terkecuali Direktur Utamanya saat ini, Budi -Buwas- Waseso. Tapi kenyataannya tidak demikian.Â
Buwas malah terkesan tidak terima dengan penugasan dari pemerintah. Karena baru-baru ini ia mengungkapkan bahwa keputusan pemerintah untuk mengalihkan tugas penyediaan bantuan sosial beras sejahtera (Rastra) ke pasar bebas akan merugikan Perum Bulog. Sebab, outlet penyaluran beras yang sudah diserap Perum Bulog berkurang signifikan.
Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri itu sepertinya tidak terima dengan kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial, yang menyerahkan urusan Rastra kepada pasar bebas dalam bentuk Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).Â
Dengan semakin kecilnya outlet penyaluran, Buwas mengaku, tantangan Perum Bulog pada tahun ini semakin besar. Sebab, di sisi lain, pihaknya harus terus melakukan penyerapan beras dan gabah untuk menjaga stok cadangan beras pemerintah (CBP) di kisaran 1 hingga 1,5 juta ton. Kondisi saat ini, stok di gudang Perum Bulog sudah mencapai lebih dari 2 juta ton, sehingga akan rawan terhadap kualitas.
Sebetulnya bukan pertama kali alasan semacam ini dilontarkan oleh Bulog. Beberapa waktu lalu, kinerja Bulog dalam menyerap beras petani sudah jadi sorotan.
bahwa pengadaan beras dari dalam negeri oleh Perum Bulog di triwulan pertama ini masih sangat rendah, yakni hanya sekitar 2% dari target yang dipatok. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat per 13 Maret serapan gabah yang dilakukan pemerintah baru 20.844 ton.
Sementara itu target penyerapan Januari-Maret dipatok sebesar 1,45 juta ton, sedangkan sampai akhir tahun 1,8 juta ton. Artinya, stok pengadaan cadangan beras pemerintah tahun ini masih jauh dari ekspektasi. (Rujukan)
Selain urusan penyerapan beras, masalah yang bersemayam di Bulog juga adalah mengenai penyaluran. Pasalnya, perseroan pelat merah diminta untuk menyerap tapi tidak punya outlet penyaluran semenjak rastra dialihkan ke voucher pangan.
Masalah penyaluran ini sebenarnya menuntut kemampuan Bulog berinovasi. Misalnya ia harus memperkuat pasarnya terutama untuk daerah yang tidak bisa memproduksi berasnya sendiri seperti Maluku Utara. Bulog harus bisa mencari dan memetakan daerah yang kekurangan beras untuk kemudian menjadi penyalurnya. Dalam konteks ini, Bulog harus aktif mencari marketnya sendiri.