Mohon tunggu...
Sri Agung Mikael
Sri Agung Mikael Mohon Tunggu... PNS -

Mengintip wangsit dari langit, menyingkap kabut laut, mengembangkan layar bahtera KEBANGSAAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mati Surinya sang Kebangsaan

28 Oktober 2010   11:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:01 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pesan dari langit yang hari-hari belakangan ini terasa kencang menerpa bumi nusantara ini seperti ingin mengatakan bahwa "kemanusiaan itu berada di atas kebangsaan". Bencana berturut-turut berupa banjir di Wasior, meleltusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah/Jogjakarta dan tsunami di Mentawai seolah mengirim pesan bahwa ada musibah kemanusiaan yang terbentang di bumi nusantara ini. Tetapi hari ini pula, 28 Oktober 2010, bangsa Indonesia sedang memperingati momen sejarah Sumpah Pemuda.

Dengan diliputi rasa sedih atas musibah Wasior, Merapi dan Mentawai, saya mencoba membangkitkan kembali rasa kebangsaan di Hari Sumpah Pemuda ini sekalipun yang lebih diharapkan oleh masyarakat kita adalah merapatnya rasa kemanusiaan kita untuk turut campurtangan dalam beberapa musibah tersebut. Ada pula yang mengemas keprihatinan atas musibah kemanusiaan akibat bencana alam itu dengan membangkitkan solidaritas sosial atau menggugah rasa kebangsaan banyak pihak. Hal tersebut wajar, karena ide kebangsaan juga mempunyai dimensi sosial, selain politik dan tatanegara.

Kali ini saya ingin melihat ide kebangsaan kita dari aspek tatanegara.

Jika dirunut ke belakang, perjalanan ide kebangsaan Indonesia tampak seperti sebuah cerita bersambung atau film serial. Awalnya berupa percikan kesadaran kebangsaan pada masa Boedi Oetomo 1908, kemudian berkembang menjadi platform perjuangan (manifesto politik 1925 oleh Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda 1928). Puncak kematangan konsep kebangsaan terjadi pada Proklamasi 17 Agustus 1945 dan dijadikan fondasi ide ketatanegaraan dalam Pembukaan UUD 1945.

Momentum perjalanan konsep kebangsaan itu (khususnya dalam kadarnya sebagai manifesto politik) kini dikenang melalui peringatan Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober. Romantika politik yang menarik.

Salah satu butir sumpah itu berbunyi "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia." Pertanyaan kita saat ini, masih relevankan romantika politik ini? Masih berhargakah sumpah itu bagi Indonesia saat ini dan ke depan?

Pada "konstruksi asli" pemikiran ketatanegaraan Indonesia, sumpah ini menjadi berharga justru karena adanya Proklamasi 17 Agustus 1945, diperkuat secara hukum dalam Pembukaan UUD 1945 serta dilembagakan dalam batang tubuh UUD 1945 (sebelum amandemen) dalam konstruksi bentuk, wewenang dan fungsi lembaga tertinggi negara yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dapat dikatakan bahwa menurut konstruksi asli ini, ide kebangsaan menjadi sebuah keniscayaan sejarah untuk ada dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tantangan nyata ide dan konsep kebangsaan saat ini adalah "agama" baru globalisasi-liberalisme yang mengusung "dua kalimat syahadat" : 1) kebebasan milik semua umat manusia; 2) pasar bebas menjamin terwujudnya kemakmuran. Ada kemiripan antara "agama" baru globalisasi-liberalisme dengan kolonialisme pada jamannya. Keduanya mengusung "satu dunia, satu umat manusia". Perbedaannya adalah bahwa pada jaman kolonialisme ide kebebasan itu ditunggangi dan dikendalikan oleh para kolonial kapitalis dan "dipelihara" khusus bagi mereka, sehingga kebebasan itu berarti "bebas bagi mereka untuk mengeksploitasi bangsa lain." Kini ide kebebasan itu ditunggangi oleh para kapitalis dan tanpa kolonialisme dan disebarkan secara amat rapi, halus, intelek, terstruktur dan "diternakkan/dikembang biakkan" seperti layaknya orang "menggaduhkan" (Jawa : nggadhuhke) kambing atau sapinya. Dengan pola "menggaduhkan" ini si pemilik ternak tetap memiliki sepenuhnya induk yang digaduhkan sambul menunggu hasil berupa anak atau nilai tambah induk gaduhan tanpa wajib memberi makan atau memelihara ternak itu. Soal si penggaduh rugi atau gulung tikar atau kocar-kacir karena ternaknya makan tanamannya, itu bukan urusan si pemilik ternak. Siapakah pemilik "ternak" yang bernama "kambing-liberalisme" dan sapi "neo-liberalisme" yang berkepentingan menggaduhkan ternaknya itu ke seluruh dunia dengan sebutan globalisasi.

Kendati ide kebebasan ini sangat pragmatis dan natural, namun ide tersebut juga telah membuat gamang beberapa pemikir besar dunia. Kegamangan itu terkait betapa liarnya ide ini. Seorang kritikus sosial Matthew Arnold, misalnya, bahkan mengibaratkan kebebasan "seperti kuda yang bagus untuk ditunggangi ke arah manapun selain ke arah kebebasan itu sendiri." Eric Fromm seorang filsuf sosial menyebut bahwa "kebebasan mewarnai eksistensi manusia sedemikian rupa, sehingga maknanya berubah sesuai dengan tingkat kesadaran dan konsep manusia tentang dirinya sendiri."

"Syahadat" kedua dari globalisasi-liberalisme adalah pasar bebas menjamin terwujudnya kemakmuran. Beberapa pemikir mengatakan baha ini adalah mitos. Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa kemakmuran pada tahun 1960-1980 diperoleh bangsa-bangsa justru karena adanya intervensi yang tepat dari negara. Kesimpulan ini sejalan dengan kritik atas prinsip laissez faire --anak dari liberalisme Inggris abad 18 -- yang kemudian menghasilkan konsep negara kesejahteraan.

Kedua "syahadat" ini tampaknya telah terstruktur dengan baik, lengkap dan canggih. Susah untuk menolak atau melawannya karena tampilannya sudah sangat ideologis, tersembunyi di balik pikiran dan nafsu manusia, didukung oleh para cerdik pandai nan profesional serta para pemodal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun