Menurut kamus besar bahasa Indonesia [KBBI], kata ''palsu'' mempunyai arti tidak tulen, tidak sah, lancung, tiruan, gadungan, curang, tidak jujur, sumbang. Arti kata ''palsu'' yang secara kontekstual paling mendekati dengan hal-hal informatif adalah tidak tulen, tidak sah dan lancung. Kata kepalsuanmempunyai kesamaan arti dengan kata kecurangan. KBBI juga menyamakan arti kata palsu dengan bohong.
Saya memilih kata dasar palsu untuk meraba ''sesuatu yang terasa salah'' dalam infotainment, karena infotainment tertentu mengandung kecurangan. Ia menggabungkan antara fakta dan fiksi. Penggabungan antara fakta dan fiksi tersebut dibuat dengan sengaja, dan pada saat yang sama kesadaran publik sengaja disesatkan dalam informasi yang palsu.
Sebuah cerita fiksi akan menjadi sebuah kebenaran fiksi ketika ia dibingkai dengan pernyataan bahwa ''cerita berikut ini adalah fiksi'' sehingga pihak yang menerima informasi/cerita tidak tersesat atau salah duga seolah-olah ia merupakan sebuah fakta. Dengan bingkai pernyataan itulah, sebuah fiksi menjadi sebuah informasi yang benar dan melahirkan fakta baru, yaitu fakta tentang fiksi. Sebuah fakta yang diinformasikan akan menjadi berita. Opini sebenarnya mirip fiksi, karena merupakan fakta yang diolah.
Kompasianers dapat menilai, bahwa beberapa tulisan saya di kompasiana juga tidak jelas apakah fakta ataukah fiksi jika hanya melihat isinya. Ia seolah-olah merupakan fakta. Hanya kemasannya saja yang mengantarkan horison pembaca untuk mengetahui apakah isinya fakta atau fiksi. Semua itu tidak saya buat dengan sengaja tetapi semata-mata karena kurangmampunya saya sebagai penyampai berita atau sedikit usil untuk merangsang para pembaca.
Tetapi bagaimana halnya jika ada sebuah fakta dicampur dengan fiksi. Penggabungan fakta dan fiksi tersebut akan menyesatkan bagi penerima informasi dan oleh karena itu juga mengandung kecurangan atau dengan kata lain mengandung kepalsuan. Kepalsuan semacam itu menyerupai pidato politik tetapi memiliki muatan yang langsung menyentuh kehidupan pribadi orang per orang seperti masalah seksual, hak milik pribadi, kehidupan pribadi dan hal-hal pribadi lainnya.
Dari segi isinya, infotainment mungkin mengandung bahaya moral [moral hazard] tetapi mungkin juga tidak. Tayangan tentang gaya hidup artis yang porno, misalnya, jelas mengandung bahaya moral. Tetapi ada banyak isi tayangan yang tidak mudah untuk mengukur bahayanya.
Dari segi kemasannya, infotainment jelas mengandung kepalsuan karena ia menggabungkan fakta dan fiksi. Dalam format yang demikian ini, para penerima informasi rentan mengalami sesat pikir.
Dari segi konteksnya, infotainment dapat menjadi sebuah kebohongan yang menguntungkan pihak tertentu. Sebuah peristiwa pidana yang ''di-infotainment-kan'' sampai tingkat tertentu akan menimbulkan kesan bahwa peristiwa pidana itu telah ditangani dengan tuntas padahal belum tentu demikian halnya. Demikian pula sebuah peristiwa pribadi seorang artis sengaja ''di-infotainment-kan'' dengan maksud untuk mendongkrak popularitas si artis itu sendiri.
Dengan sifat dan ciri infotainment yang demikian itu, saya lebih setuju jika regulasi tentang infotainment dilakukan terhadap produsennya maupun pendukungnya. Pendukung yang dimaksud adalah para pemasang iklan di televisi. Kepada para pemasang iklan di televisi diberlakukan aturan untuk ''tidak mengambil keuntungan dari tayangan-tayangan yang mengandung kepalsuan atau patut diduga akan melahirkan kepalsuan''.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI