Sebenarnya sudah lama saya memendam dua rasa , yaitu bangga dan kecewa. Bangga karena nama saya sering disebut di mana-mana; di masjid, di gereja, di pura dan belakangan di mass media [wuih....narsis...narsis]. Kecewa karena belakangan ini nama saya ikut-ikut disebut terkait pernyataan Yusril tentang legalitas si jaksa agung.
Kalau saya seorang jaksa, mungkin masalah legalitas si jaksa agung ini akan semakin rumit. Misalnya saya sebagai jaksa diminta mengomentari pernyataan Yusril itu lalu mass media mengutip pernyataan saya maka kira-kira bunyi kutipannya ''Menurut 'jaksa Agung', pernyataan Yusril tentang legalitas Jaksa Agung itu mengandung implikasi serius. Pendapat 'jaksa Agung' tersebut merupakan sikap berseberangan dengan Jaksa Agung sebagai atasannya. Karena sikapnya yang berseberangan itu, minggu lalu Jaksa Agung memindahkan 'jaksa Agung' ke sebuah kejaksaaan di daerah terpencil''
Kerumitan akan semakin bertambah kalau misalnya saya menjadi Jaksa Agung. Sehingga untuk menyebut nama Jaksa Agung akan menjadi ''Jaksa Agung Agung''. Lebih sederhana jika misalnya menyebut ''Jaksa Agung Hendarman Supanji''.
Kalau saya sebagai jaksa, maka UU tentang kejaksaan langsung berlaku atas diri saya karena menyebut nama Agung, jadi tidak perlu Keppres. Sayangnya nama jaksa agung yang sekarang bukan Agung, sehingga UU tidak secara langsung berlaku terhadapnya melainkan hanya mengatur ''jabatan jaksa agung'' sedangkan si pejabatnya harus ditetapkan dengan suatu Keputusan Presidan. Untunglah yang dipersoalkan Yusril adalah kedudukan Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung dan bukan kedudukan Agung sebagai Jaksa Agung.
Masih lebih untung lagi karena saya bukan sebagai jaksa, sehingga legalitas Agung sebagai jaksa tidak pernah dipersoalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H