Untuk menuliskan dua isu besar sebagaimana tertera sebagai judul di atas dalam tulisan singkat sangatlah sulit, kalau bukan malah muskil. Tetapi bagi para pemerhati politik, kedua isu tersebut selalu menarik perhatian. Seringkali pembahasan kedua isu itu saling silang tidak jelas pola hubungan keduanya.
Kita mulai dari hubungan antara agama dan politik. Keduanya dijalankan oleh dan ditujukan untuk manusia. Masing-masing membentuk suatu sistem namun dengan asumsi-asumsi kunci yang berbeda. Sebagai sistem kepercayaan, agama bertumpu kepada asumsi kunci ketuhanan, sedangkan politik sebagai sebuah sistemkekuasaan bertumpu kepada asumsi kunci kepentingan.
Namun sejarah membuktikan bahwa agama dan politik itu bisa kawin sehingga menghasilkan politisasi agama. Agama Kristen pernah mengalami politisasi agama pada masa-masa sebelum akhirnya Paus hanya dibatasi wewenangnya, yaitu hanya memiliki yurisdiksi gerejawi. Di lain pihak, menurut Fareed Zakaria Islam politis modern memiliki sejarah yang relatif baru dimulai, yang ditandai dengan lahirnya sebuah buku berjudul Petunjuk Jalan yang ditulis oleh Sayyid Qutb pada tahun 1950-an. Namun menurut Fareed Zakaria, timbulnya islam politis ini merupakan jawaban atas kondisi ''politik di dunia Arab yang tidak memiliki partai politik yang nyata, tak ada kebebasan pers dan hanya sedikit jalan bagi pembangkang.'' [Fareed Zakaria, 2004 hlm. 172].
Perbedaan asumsi kunci antara agama dan politik menyebabkan keduanya memiliki perbedaan moralitas. Agama memiliki nilai-nilai moral yang absolut sedangkan politik memiliki kecenderungan moral yang kompromistis. Bagaimana mungkin mengawinkan dua corak moralitas yang demikian itu. ''Perkawinan'' antara keduanya justru lebih mungkin untuk disebut ''perselingkuhan''. Agama yang seharusnya sebagai sumber inspirasi personal berubah menjadi sumber legitimasi kekuasaan.
Lalu apa hubungannya antara agama dengan demokrasi. Dengan menyebut istilah sumber legitimasi kekuasaan, dapat terlihat bahwa dalam negara modern sumber legitimasi kekuasaan itu adalah demokrasi. Dengan kata lain, seberapa baik suatu kekuasaan dijalankan merupakan indikator keberhasilan demokrasi. Ketika tidak ada demokrasi, menggunakan agama sebagai sumber legitimasi menjadi masuk akal sebagaimana yang ditulis oleh Fareed Zakaria. Akan tetapi manakala demokrasi sudah berjalan tetapi masih mencari sumber legitimasi dari agama justru merupakan kekeliruan asumsi kunci.
Demokrasi sebagai sumber legitimasi tidak menunjukkan corak yang sama di dunia. Menyebut demokrasi Amerika sebagaimana diungkapkan oleh Alexis de Toucquevile dalam buku Historical Vistas adalah sesuatu yang spesifik demokrasi Amerika, yaitu demokrasi liberal. Asumsi kunci demokrasi liberal adalah mayoritas individu. Dengan kata lain, legitimasi kekuasaan diperoleh berdasarkan jumlah mayoritas dimana mayoritas itu merupakan penjumlahan individu. Basis moral demokrasi liberal adalah mayoritas lebih baik dari minoritas dan mayoritas mempunyai kedudukan yang preferent [didahulukan].
Sekalipun Indonesia juga menerima prinsip-prinsip demokrasi, namun asumsi kunci demokrasi Indonesia berbeda dengan asumsi kunci demokrasi liberal. Pemikiran konstitusionalisme asli Indonesia mencatat jejak pemikiran demokrasi itu dengan sangat cerdas namun sejak amandemen UUD 1945, demokrasi yang sesuai dengan konstitusionalisme Indonesia itu kian tak jelas. Kini berkembang wacana dan diskursus yang justru menunjukkan kegundahan tentang sumber legitimasi kekuasaan. Di satu sisi melirik agama dan disisi lain tertarik ke arah demokrasi liberal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H