Contoh-contoh tersebut di atas adalah permasalahan etis yang timbul karena pembenaran diri yang berlebihan, sengaja maupun tidak sengaja. Dan hal itu tampaknya lebih merupakan persoalan etika. Saya pun khawatir, jangan-jangan tulisan saya ini pun terjangkiti virus itu. Antara benar dan pembenaran diri ini perbedaannya sangat tipis, ibarat rambut dibelah lima hingga kita mudah sekali tergelincir ke sana.
Potensinya di Indonesia sangat besar, justru karena adanya keanekaragaman (kebhinekaan) yang bersifat alami maupun buatan.
Indonesia ini dibangun di atas prinsip bhineka tunggal ika. Barangkali itu pula pertimbangan para pendiri bangsa tentang perlunya dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dalam berbangsa dan bernegara. Vitalitas sosial sebuah masyarakat yang beragam bisa terancam karena energi pembenaran diri yang berlebihan yang terbentuk karena berbagai keragaman yang memang "udah dari sono-nya" itu. Tetapi penyeragaman dan penyatuan secara paksa juga akan membunuh demokrasi.
Siapa yang bertanggungjawab atas pengelolaan energi pembenaran diri dalam rangka pembentukan dan pemeliharaan vitalitas sosial ini? Saya melihat ada 8 kelompok masyarakat yang bertanggungjawab untuk itu, yaitu :
1. Orangtua/keluarga
2. Guru/dosen
3. Pemimpin Agama
4. Pejabat Publik/pejabat negara/politisi
5. Tokoh Masyarakat (Adat, Pemuda, Pemuka masyarakat lainnya)
6. Penegak Hukum
7. Mass Media
8. Setiap entitas sosial yang berpegang kepada kode etik
Proses pembinaan pengelolaan energi pembenaran diri oleh kedelapan kelompok tersebut adalah sebuah proses panjang dan sinergis. Pembangunan karakter perlu waktu sangat lama. Sementara di era komunikasi seperti saat ini, akselerasi dan amplifikasi tentang hal baik maupun hal yang kurang baik berlangsung super cepat; melampaui kecepatan penyesuaian/pembentukan sikap manusia pengguna teknologi.
Bagaimana kedudukan SE Kapolri No. SE/06/X/2015?
SE Kapolri No. SE/06/X/2015 yang diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 yang memuat tata cara penanganan ujaran kebencian atau hate speech. Saya berpendapat SE ini tidak mengambil alih tanggungjawab para pihak tersebut di atas. Menurut pandangan saya yang (maaf) terbatas ini, secara internal, ia menjadi penegasan adanya peristiwa-peristiwa sosial yang masih berupa gejala hukum atau yang berpotensi menjadi peristiwa hukum disertai arahan bagaimana tata cara penanganannya. Bagi pihak di luar POLRI ia menjadi early warning dalam rangka memelihara vitalitas sosial kita (pernah saya tulis dalam : http://www.kompasiana.com/sriagung/nggak-rame-kalau-nggak-ada-kebencian_563cc44cb393734e0ad44f85). POLRI telah melakukan langkah canggih dengan menerbitkan SE tersebut. Dalam kondisi masyarakat yang dipenuhi euforia kebebasan berpendapat seperti saat ini SE tersebut menjadi sangat relevan.
Sekalipun ini hanya sebuah norma kebijakan internal POLRI, namun mengingat substansinya yang berspektrum luas SE ini juga dapat menjadi awal yang baik agar para legislator dan para ahli segera melakukan perumusan secara formal tentang hate speech ke dalam sebuah norma hukum, pihak yang harus bertanggungjawab mengelola energi pembenaran diri, serta bagaimana norma itu dijabarkan, disebarkan dan diamalkan ke dalam kurikulum, kode etik, standar perilaku dan menumbuhkan kearifan-kearifan lokal.
Â
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H