Energi Pembenaran Diri sebagai Tantangan Sebuah Negeri Berbhineka Tunggal Ika
Apa itu pembenaran diri? Mari kita buat ilustrasi sebagai berikut :
Misalkan Anda adalah orang yang benar dan dibenarkan oleh orang-orang di sekitar Anda; pekerja yang rajin, suka membantu, suka bergotong royong, rukun dalam keluarga, jujur, dan seterusnya. Pendeknya, Anda dipandang oleh orang lain sebagai insan kamil. Suatu ketika Anda hadir di sebuah pertemuan di kampung, lalu Anda menyebut diri Anda dengan bangga atas segala pencapaian Anda. Dan itu diulang-ulang atau dengan penegasan-penegasan, baik intonasi suara, gestur, peragaan dan sebagainya. Dalam hal yang demikian, apa yang sedang terjadi dengan diri Anda?
Contoh lain (sebuah fakta yang tidak dipublikasikan atau dipublikasikan – sudut/cara pandang)
Seorang wartawan meliput suatu kejadian tindakan asusila yang terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Kejadian itu benar adanya. Kemudian si wartawan menulis sangat detail tentang si perempuan hingga alamat rumah, nama kampung dan semua identitas yang ada di KTP nya. Dan data itupun benar adanya. Namun tokoh masyarakat adat dan sekelompok pemuda dari kampung si perempuan itu protes kepada mass media lokal itu dan berniat mengadili secara adat atas mass media dan wartawan itu dengan satu soal : kepentingan publik apa yang sedang diperjuangkan oleh mass media dan wartawan itu ketika menulis secara detail tentang semua atribut si perempuan? Apakah aib seorang perempuan harus ditanggungkan kepada seluruh kelompok masyarakatnya?
Contoh lain lagi (masih segar).
Suatu insiden penembakan seorang warga sipil oleh oknum TNI. Faktanya ada. Benar adanya dan diakui oleh Panglima TNI baru-baru ini. Namun sebuah televisi swasta menayangkan gambar dengan ulasan, komentar dan sudut pandang yang sama secara berulang-ulang. (Kritik saya : Selain penayangan berulang-ulang dan berturut-turut dalam rentang waktu sangat pendek itu melukai perasaan korban, apa kira-kira pesan yang diinginkan oleh redaktur tivi tersebut dengan menayangkan gambar, komentar, ulasan dan sudut pandang yang sama itu?)
Contoh yang lain lagi (masih segar juga)
Setelah insiden penembakan seorang warga sipil oleh oknum TNI, datanglah beberapa teman si oknum TNI ke rumah korban dengan membawa berbagai bantuan. Mereka datang dengan seragam TNI. Kedatangan itu justru disambut dengan kemarahan keluarga korban. (Tafsir saya, hal itu terjadi secara spontan karena dorongan rasa benci. Keluarga korban justru merasa makin terluka dengan kedatangan para anggota TNI teman si pelaku penembakan karena : 1) keluarga korban tidak mampu membedakan antara oknum TNI dengan TNI sebagai aparat negara justru karena mereka yang datang berseragam sehingga timbul kesan menegaskan identitasnya sebagai TNI - yang salah satu di antaranya menembak anggota keluarga itu; 2) bagi keluarga korban kehadiran TNI berseragam dan berbondong-bondong itu justru seperti menafikan kedukaan keluarga. Kaluarga korban merasa ini sebuah duka yang mendalam, tetapi serombongan anggota TNI yang datang dengan gagah itu seakan mengesankan “It’s okey. Everything is okey.” Meski kita tahu bahwa dimana-mana tentara itu ya jalannya tegap dan bertampang sangar atau dingin. Haruskah kita menyangkal kenyataan bahwa anggota TNI itu cara berjalannya tegap dan berombongan? )
Contoh yang agak berbeda
Dalam beberapa kali masa pemilu kita disuguhi berbagai berita (berita tentang “fakta” maupun berita tentang berita) yang menyampaikan pesan bahwa calon tertentu teraniyaya dengan berbagai sebab atau sebaliknya, pihak tertentu merupakan tokoh yang patut dibenci dengan berbagai alasan. Sangking masif dan sistematinya pemberitaan, hingga kita tidak lagi mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah; mana fakta dan mana parodi. (Tafsir saya, fenomena ini lebih rumit mengingat telah terjadi beberapa tahapan manipulasi pesan, baik pesan linguistik/gambar, pesan paralinguistik ataupun pesan ekstralinguistik. Namun ketika berita itu diterima secara naif sebagai sebuah pesan sederhana atau istilahnya "ditelan mentah-mentah", hal ini dapat menimbulkan kebencian atau suasana terpeliharanya kebencian yang sesungguhnya di tengah masyarakat. Padahal, sebagian dari fenomena itu hanyalah parodi yang bermotif politik.)