Nggak Rame Kalau Nggak Ada Kebencian. Benarkah? Rasa-rasanya sih benar. Hiruk-pikuk perpolitikan Indonesia sejak reformasi ini sebagiannya dibumbui kebencian. Bahkan kita tahu, banyak pihak menjadi tokoh nasional justru karena adanya manajemen kebencian seperti layaknya cerita "Bawang Merah Bawang Putih" atau sejenisnya. Ada pihak yang diposisikan menjadi korban kebencian, atau yang bersangkutan itu sendiri bersikap menjadi korban (feeling like a victim) dari kebencian yang pada akhirnya membawanya kepada panggung popularitas dan bahkan ketokohan/kepemimpinan yang sesungguhnya. Kadangkala demikian pula halnya di dunia para artis.
Demikian pun sepakbola di kampung. Kalau gak rame, gak afdol. Sinetron di televisi atau film-film juga demikian : kalau gak ada bumbu kebencian gak rame jadinya. Tayangan televisi dirasa hambar jika datar-datar saja alias gak ada kontroversi, gak ada debat sengit atau semacamnya. Begitulah sinyal-sinyal atau benih kebencian telah dikemas dan bahkan bermanfaat bagi banyak pihak.
Lalu kenapa kok pak Kapolri malah membuat SE semacam itu? Banyak pihak menganggap hal tersebut sebagai langkah mundur atau malah terkesan mengembalikan jaman Orde Baru seperti yang disinyalir oleh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) dalam berita di JPNN.com ini.
Beberapa kali mendengar diskusi di Kompas TV dan tulisan di Kompas.com yang mengulas Surat Edaran Kapolri tentang hate speech di sini saya merasa tergelitik. Saya mencoba mencari pengetian istilah hate speech itu di wikipedia, dan menemukannya. Di sana disebutkan pengertian hate speech dalam lingkup hukum dan lingkup di luar hukum. Di luar hukum, hate speech diartikan sebagai ujaran yang menyerang seseorang atau kelompok berdasarkan embel-embel jenis kelamin, asal-usul kesukuan, agama, ras, kecacatan (disabilitas) atau orientasi seksual.
Dalam lingkup hukum, hate speech diartikan sebagai segala pembicaraan, gerak-gerik (gestur) atau perbuatan, tulisan atau tayangan yang dilarang karena dapatnya memicu kekerasan atau tindakan-tindakan yang dapat menjadi prejudicial action (saya terjemahkan sebagai "faktor korelatif kriminogen") atau yang bersifat mengancam bagi atau oleh seseorang maupun kelompok.
Dalam pengamatan saya yang sangat terbatas, kebencian itu seringkali timbul karena adanya pembenaran diri yang berlebihan (dengki) dan egosentrisme yang berlebihan (iri) yang kemudian tersalur dalam kecenderungan-kecenderungan untuk menyerang pihak lain. Namun kebencian sebagai hasil dramatisasi untuk menuju popularitas lebih merupakan parodi dari kedua hal tersebut.
Jika kita amati isi Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 yang diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 yang memuat tata cara penanganan ujaran kebencian atau hate speech, kita dapat menemukan hal-hal positif dari SE tersebut. Saya melihat hal-hal positif itu sebagai berikut :
1. Penerbitan SE yang sesungguhnya berlaku internal di kalangan POLRI itu telah berhasil menghadirkan fungsi soft deterrent-nya dalam menghampiri dan mengelola faktor-faktor korelatif kriminogen (FKK) yang selama ini cukup gencar diproduksi oleh para penumpang gelap demokrasi, penyeleweng hak kebebasan berbicara, para pengecut, provokator, penghasut dan pengguna akun palsu.
2. Penghampiran atas FKK tersebut dapat diharapkan untuk menjaga vitalitas sosial, sekalipun SE tersebut juga mengajukan alternatif-alternatif penyikapan hingga kepada penegakan hukumnya. Namun demikian, jika dilihat dari tahapan-tahap dan prosedur penanganan yang dimuat dalam SE tersebut, terkesan bahwa POLRI lebih mengedepankan upaya menjaga vitalitas sosial daripada vitalitas hukum.
Demi keuntungan jangka pendek, kita seringkali lupa bahwa vitalitas sosial tersebut mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi; baik yang bersifat mendatangkan dana/investasi maupun yang bersifat menghemat pengeluaran/efisiensi, ataupun nilai tambah yang menjadi agregat modal lainnya. Kondusif, mungkin itulah istilah yang selama ini kita kenal untuk menakar vitalitas sosial kita.
Vitalitas sosial sedemikan itu, kiranya juga menjadi modal sosial yang oleh para ahli diidentifikasi sebagai penguatan kontrak sosial (bounded solidarity), atau oleh Lyda Judson Hanifan (1920) disebut sebagai hubungan timbal balik atas kebajikan bersama (social virtues), simpati dan empati, serta tingkat kohesi sosial. Dengan vitalitas sosial suatu masyarakat tidak akan mudah diadu domba.