Senyampang belum lewat tengah malam tanggal 28 Oktober 2015, saya ingin meluangkan waktu sejenak untuk merenungi momentum Sumpah Pemuda. Saya tidak hanya ingin memandangi hari Sumpah Pemuda sebagai catatan sejarah. Dengan segala keterbatasan pengetahuan saya, saya sebagai bagian dari bangsa Indonesia ingin mencoba menafsirkan sendiri makna Sumpah Pemuda dalam situasi kekinian.
Secara historis, Sumpah Pemuda merupakan mata rantai dari tumbuhnya semangat kebangsaan Indonesia. Pergerakan-pergerakan sejak pra kemerdekaan hingga Proklamasi Kemerdekaan memang tidak semuanya bercorak pergerakan kebangsaan. Namun demikian, hanya pergerakan-pergerakan yang mengusung semangat kebangsaanlah yang kemudian melahirkan sebuah negeri yang disebut Indonesia.
Spirit of Indonesia itu sendiri pada hakekatnya pergerakan dan perjuangan menjadi sebuah bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sebagai satu mata rantai pergerakan kebangsaan, Sumpah Pemuda ketika itu dapat dipahami sebagai kristalisasi intelektualitas, etis dan komitmen kebangsaan Indonesia. Namun itu dulu.
Dalam konteks kekinian saya ingin mengemukakan suatu perangkat asumsi yang mudah-mudahan tidak terlalu keliru bahwa setiap individu (manusia) berhak mengupayakan dan mendapatkan hal-hal terbaik bagi dirinya, keluarganya, kelompoknya, sukunya, ras nya dan bangsanya. Oleh karena itulah terjadi dan berkembang macam-macam persaingan. Persaingan bisa terjadi antar individu, antar keluarga, antar kelompok, antar suku, antar ras dan bahkan antar bangsa. Wajar. Dengan kata lain, individu, keluarga, kelompok, suku, ras dan bangsa itu berpotensi menjadi kekuatan yang menyatukan tetapi juga berpotensi menjadi kekuatan yang menimbulkan perpecahan. Dan hal yang demikian itu terjadi dulu maupun kini.
Dengan sedikit bumbu seperti iri, dengki dan kebencian sebuah persaingan individu berubah menjadi permusuhan. Dengan bumbu arogansi persaingan berubah menjadi penindasan. Dengan bumbu semangat berkoloni (oleh bangsa lain, oleh suku lain atau jenis koloni lainnya) sebuah persaingan menjelma menjadi kolonialisasi atau penjajahan. Garis batas antara persaingan, permusuhan, penindasan dan penjajahan sangat tipis.
Lalu bagaimana kini kita maknai Sumpah Pemuda?
Sekalipun proklamasi kebangsaan telah terjadi, tetapi konsep kebangsaan Indonesia belum selesai. Demikian pula bias antara persaingan dengan permusuhan penindasan maupun kolonialisasi masih terjadi hingga kini. Dalam dinamika situasi yang demikian, mohon perkenan pembaca, saya berpendapat bahwa makna Sumpah Pemuda sebagai kristalisasi intelektualitas dan komitmen kebangsaan Indonesia masih relevan namun penekanan kini justru lebih kepada sisi etisnya.
Dalam kondisi kekinian Indonesia Sumpah Pemuda dapat kita pertegas makna etisnya. Ya, sebagai sumpah, sumpah kita, sumpah setiap insan Indonesia untuk mempertahankan dan mengembangkan spirit of Indonesia. Dengan etika itu setiap upaya, dnamika bahkan persaingan manusia Indonesia (yang dalam konteks Hindia Belanda dahulu hal itu kita sebut "perjuangan pergerakan kemerdekaan kebangsaan") harus diletakkan dalam bingkai NKRI dan visi country well being sesuai semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.
Maka peringatan Sumpah Pemuda bukan sekedar upacara, seremoni atau memorabilia sejarah yang kaku dan beku tetapi juga adalah sebuah diskursus kebangsaan yang sesungguhnya tak pernah mati agar dinamika dan persaingan kita tetap berada dalam koridor etis sumpah itu. Beranikah bersumpah?
Salam Spirit of Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H