Topik Pilihan Hari ini di Kompas.com masih tentang Jaksa Agung Ilegal. Beberapa stasiun televisi juga menyiarkan talk show membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kedudukan Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung.
Malam ini saya baru saja nonton acara talk show di Metro TV. Masih tentang putusan MK itu. Ada 4 orang ahli hukum tatanegara, termasuk Prof. Mahfud MD dan Deny Indrayana ikut di situ. Yang menarik dari talk show kali ini, ada narasumber yang mulai mengatakan "Presiden tidak salah. Hendarman juga tidak salah. Yang salah itu undang-undangnya."
Dengan segala maaf, saya tidak setuju dengan pendapat itu. Pada hemat saya, kita semua ini sudah salah dalam hal itu.
Undang-undangnya salah karena adanya kekaburan norma pengangkatan dan pemberhentian jaksa agung.
DPR dan Presiden yang membentuk UU itu juga salah karena membiarkan terjadinya kekaburan norma itu.
Presiden salah lagi ketika memanfaatkan kekaburan norma itu sehingga jabatan jaksa agung yang diemban oleh Hendarman Supanji menimbulkan polemik hukum.
Hendarman Supanji juga salah karena diam-diam menikmati hak yang timbul dari kekaburan norma itu.
Pak Mahfud MD juga salah karena mengatakan presiden tidak salah.
Deny Indrayana lebih salah lagi, karena pembicaraannya mengandung kehendak tersembunyi untuk membiarkan kesalahan itu tetap terjadi meskipun MK telah menghilangkan kekaburan norma itu dengan putusannya.
Salahkah MK dengan putusannya itu?
Putusan MK mengatakan bahwa jabatan jaksa agung itu mengikuti masa jabatan presiden (dengan kata lain hak prerogatif presiden itu terikat kurun waktu). Hal ini dapat ditafsiran bahwa ketika presiden kabinet Indonesia bersatu I berakhir maka jabatan Hendarman Supanji sebagai jaksa agung juga berakhir. Kurun waktu yang digunakan adalah masa jabatan presiden yang berakhir secara normal (5 tahun). Nah, kalau misalnya terjadi impeachement lalu presiden diberhentikan sebelum habis masa jabatannya, apakah semua menteri dan jaksa agung juga harus dianggap habis masa jabatannya? Apakah hal ini tidak berarti terjadi kekosongan pemerintahan?