Mohon tunggu...
Sri Agung Mikael
Sri Agung Mikael Mohon Tunggu... PNS -

Mengintip wangsit dari langit, menyingkap kabut laut, mengembangkan layar bahtera KEBANGSAAN

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anggodo Lulusan SD, Lalu........

25 Agustus 2010   01:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:44 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_238129" align="alignleft" width="143" caption="sumber dari Kompas.com"][/caption] Pilihan editor Kompas.com menempatkan dua ''bintang'' dalam perkara hukum, yaitu Yusril Ihza Mahendra dan Anggodo. Yusril ditampilkan dalam konteks perdebatannya dengan Adnan Buyung sebagai saksi ahli dalam sidang kasusnya di MK. Anggodo diberitakan terkait sidang kasus Bibit-Candra dengan judul ''Anggodo Cuma Lulusan SD''. Kompas.com mengutip pernyataan salah seorang kuasa hukum Anggodo demikian "Bagaimana mungkin seorang yang tidak lulus SD bisa mengatur Ary yang seorang insinyur, di mana berpikir sistematis dan runtut kronologi pemberian uang kepada oknum pimpinan KPK dalam BAP-nya tertanggal 11 Juli 2009," Bagaimana kita memaknai pernyataan kuasa hukum Anggodo ini. Bagaimana pula seandainya pernyataan seperti itu kemudian dikuatkan oleh saksi ahli. Bagi saya, pembelaan kuasa hukum Anggodo tersebut menyiratkan beberapa hal

  1. ''Bagaimana mungkin'' adalah kata yang mewakili skeptisisme yang diharapkan muncul atau dikenakan oleh hakim. Dengan skeptisisme itu selanjutnya diharapkan agar hakim berpihak kepada Anggodo
  2. ''Seorang yang tidak lulus SD bisa mengatur Ary yang seorang insinyur'' mengandung makna paradoks seorang yang tidak lulus SD melawan seorang insinyur. Sang kuasa hukum hendak menunjukkan sebuah anomali [keterbatasan pada dirinya sendiri] yang ada pada diri Anggodo, dan dengan anomali itu ingin disampaikan suatu kemustahilan.

Dari kedua hal tersebut kita mempertanyakan pesan apa yang ingin disampaikan oleh kuasa hukum Anggodo.

  • Pesan pertama, seorang yang tidak lulus SD tidak mungkin berbuat ''hal penting menurut hukum''
  • Pesan kedua, orang yang lebih tinggi pendidikannya pastilah lebih pandai.
  • Pesan ketiga, karena lebih pandai, maka ia lebih besar kemungkinannya untuk bertanggungjawab atas suatu kesalahan.
  • Pesan keempat, karena tidak pandai maka seharusnya ia tidak mampu bertanggungjawab secara hukum [ombekwaanheid]

Keempat pesan yang saya utarakan itu serasa menjungkirbalikkan cara berfikir kita. Dengan logika itu kita diajak untuk tidak sekolah tinggi supaya tidak mudah terjerat hukum. Dengan logika itu pula hendak diabadikan sebuah paradoks dalam pendidikan Indonesia bahwa pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan apa-apa, terbukti bahwa seorang insinyur dapat diatur oleh seorang yang tidak lulus SD. Yang paling mendasar adalah pesan keempat, dimana ombekwaamheid [ketidakmampuan] telah menjadi trend dalam pola pembelaan hukum di Indonesia. Ini terlihat dari kasus mantan presiden Suharto, Syaukani dan kini Anggodo. Bedanya, dalam kasus Pak Harto dan Syaukani ombekwaamheid itu disebabkan karena penyakit sedangkan dalam kasus Anggodo ombekwaamheid itu diarahkan kepada sebab-sebab kebodohan [atau lebih tepat membodohkan diri]. Suatu ketika ada sebuah lembaga atau profesi yang akan dijadikan saksi ahli untuk membenarkan bahwa ''orang yang bodoh tidak mungkin diminta pertanggungjawaban secara hukum'' ini. [caption id="attachment_238135" align="alignleft" width="300" caption="sumber Kompas.com"][/caption] Pesan-pesan yang secara tidak langsung dikirim oleh Anggodo ini berbeda dengan pesan yang dikirim oleh Yusril Ihza Mahendra. Dalam kasus Yusril, pesan kepada kita yang dapat ditangkap yaitu bahwa Yusril ingin mengatakan ''tertibkan dulu administrasi negara, baru kemudian tertibkan warga negara''. Sebagai masyarakat awam kita patut berharap, bahwa sekalipun hukum kita carut marut, namun setidaknya logika masyarakat jangan semakin diperosokkan dan diarahkan kepada kebodohan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun