Masihkah relevan berbicara tentang kemerdekaan di tengah kelesuan ekonomi, nilai tukar rupiah melemah, kekeringan dan bencana alam diberbagai daerah serta dinamika politik yang tak berpihak kepada rakyat? Mungkin Anda bosan, atau bahkan muak. Tak apa. Kali ini saya akan membawa Anda berselancar dalam gelombang pemikiran yang mungkin aneh atau bahkan ganjil. Dengan keanehan atau keganjilan itu saya sekaligus ingin menegaskan, bahwa ini bukan doktrin melainkah hanya sebuah ikhtiar dari seorang anak negeri untuk memahami pemikiran para bapa bangsanya.
Pada tanggal 17.08.2015 nanti bangsa Indonesia memperingati 70 tahun kemerdekaan. Angka 70 itu juga sekaligus memudahkan kita mengingat hari ketika pertama kali Proklamasi Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta, yaitu pada tanggal 17 bulan 08 tahun 45 yang jika dijumlahkan 17+08+45=70.
Kemerdekaan vs Kebebasan
Pertanyaan-pertanyaan tentang kedua hal ini dapat diajukan : apakah dengan kemerdekaan atau kebebasan kita menjadi demokratis? Apakah dengan kedua hal itu kita menjadi lebih sejahtera? Apakah dengan kedua hal itu, sebuah negeri menjadi lebih fungsional bagi individu di dalamnya? Mungkinkah ada kemerdekaan tanpa kebebasan atau sebaliknya? Bagaimanakah kebebasan diejawantahkan sebelum dan sesudah kemerdekaan; adakah perbedaan makna?
Kemerdekaan adalah situasi dan kondisi yang diperlukan bagi suatu bangsa. Kemerdekaan merupakan wacana para politisi dan negarawan. Kebebasan itu bagi individu. Tak heran jika wacana kebebasan selalu digandrungi para pemuja hak azasi manusia. Keduanya berada pada aras yang berbeda; kelompok dan individu. Sebuah pertanyaan lain tentang kedua hal ini adalah : apakah kemerdekaan suatu bangsa akan mengkontribusi kebebasan individual rakyat suatu negeri ataukah kebebasan individual akan mengkontribusi kemerdekaan suatu bangsa? Apakah hubungan kedua hal itu resiprokal (timbal balik) atau komplementer (saling menunjang/melengkapi)?
Sebelum momentum kemerdekaan, kebebasan merupakan menu yang menyediakan fitur pembangkangan sipil. Pembangkangan sipil atas nama kebebasan merupakan alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Setelah momentum kemerdekaan, kebebasan merupakan menu yang menyediakan fitur partisipasi sipil dalam tatanan sebuah negeri, meski masih saja ada pihak yang menafsirkannya sebagai fitur pembangkangan sipil. Ambil contoh, penggunaan frekuensi sebagai ruang publik oleh televisi swasta sebagai alat propaganda anti pemerintah atau untuk iklan pribadi/partai politik pemilik stasiun televisi yang bersangkutan. Atau contoh lain, demo berkepanjangan tanpa tujuan yang jelas.
Kemerdekaan adalah kondisi yang memungkinkan terpeliharanya kebebasan dalam tatanan sebuah negeri. Di sana, dalam paradigma politik "hikmat kebijaksanaan" kita sampai kepada diskursus demokrasi dan pemerintahan model republik; rakyat menjadi pilar politik. Jika kebebasan kita ibaratkan menu, maka kemerdekaan adalah fitur, yaitu sebagai tatanan atas menu kebebasan. Kemerdekaan menjadi suatu proses paradigmatik yang berada dalam anteseden (tarik menarik) antara tatanan dan kebebasan itu sendiri. Kebebasan hanya dapat ditata dengan suatu "hikmat" agar menghasilkan demokrasi yang sehat.
Pernyataan Kemerdekaan dan Paradigma Indonesia
Pernyataan kemerdekaan kebangsaan Indonesia tertuang dalam naskah Proklamasi. Pernyataan tersebut kemudian dilengkapi dan dimatangkan dengan suatu paradigma yang terdapat dalam preambule atau muqadimah atau pembukaan UUD 1945. Paradigma itu tersusun dan lahir dari hikmat kebijaksanaan pada bapa bangsa. Hikmat kebijaksanaan adalah rahmat, berkah yang hanya mampu diemban olen insan-insan kamil, manusia berperadaban mulia karena hati dan jiwa mereka yang berketuhanan. Hikmat itu digeluti dan diproses terus-menerus dalam sebuah kerangka keindonesiaan yang satu guna mewujudkan keadilan sosial bagi semua. Mungkinkah hikmat itu lahir dari perilaku sosial yang hedonis, dinamika politik yang mementingkan kepuasan diri, kolutif, koruptif dan nepotis? Rasanya mustahil. Tetapi apakah paradigma hasil berhikmat itu bakal mampu menggiring perilaku sosial dan politik yang diharapkan? Ini persoalan yang rumit, seperti menjawab pertanyaan : mana lebih dulu ada, telur atau ayam?
Country dan State
Pada paragraf sebelumnya, saya memilih kata negeri. Bukan negara. Konsep negeri ini tampaknya lebih cocok dengan konsep a three layers of governance yang berkembang di Kanada. Sebuah negeri (country) dimaknai sebagai kesatuan agregatif yang terdiri dari negara (state), masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat korporasi (private sector). Para bapa bangsa kita tampaknya mempunyai alur pemikiran yang berbeda dengan itu. Mereka berangkat dari isu kebangsaan, sehingga jika kita teliti dokumen-dokumen sejarah akan terungkap bahwa kebangsaan itu merupakan konsep yang otosentris dalam perjuangan Indonesia. Dengan kata lain, perjuangan Indonesia adalah perjuangan untuk menjadi sebuah bangsa. Klimaks alur pikir ini terdapat dalam naskah proklamasi. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah proklamasi kemerdekaan sebagai bangsa, bukan pertama-tama sebagai negara. Negara (state) adalah konsekuensi logis dari bangsa yang merdeka.Â