1. Pendahuluan
Dalam hal ini, salah satu aspek perkembangan anak usia dini adalah aspek sosial emosionalnya. Perkembangan sosial merupakan suatu proses dimana anak belajar mengenai dirinya sendiri dan orang lain untuk membangun relasi dan pertemanan. Seperti yang kita ketahui bahwa pengalaman sosial anak, yang di mulai dalam keluarga akan mempengaruhi kehidupannya di masa mendatang. Sedangkan perkembangan emosi adalah suatu proses luapan perasaan anak ketika berinteraksi dengan lingkungannya, yang terjadi secara perlahan. perkembangan sosial dan emosional sejatinya muncul dari anak mulai lahir. Ciri-ciri penampilan emosi pada anak menurut Hurlock ditandai oleh intensitas yang tinggi, sering kali ditampilkan, bersifat sementara, cenderung mencerminkan; individualitas, bervariasi seiring meningkatnya usia, dan dapat diketahui melalui gejala perilaku (Mulyani, 2017). Apabila orangtua maupun lingkungan tidak dapat memberikan stimulasi yang tepat, maka anak dapat mengalami gangguan pada aspek perkembangan sosial emosionalnya. Salah satu gangguan sosial emosional yang sering terjadi pada anak usia dini yaitu gangguan kecemasan sosial (Social Anxiety Disorder).
Gangguan kecemasan sosial merupakan gangguan kecemasan yang banyak terjadi pada manusia, tetapi diagnosisnya jarang ditegakkan, sehingga jarang pemberian terapi untuk mengatasi gangguan tersebut. Individu yang mengalami gangguan kecemasan sosial memiliki pemikiran yang negatif terhadap penglihatan atau pandangan orang lain terhadap dirinya, sehingga menimbulkan kecemasan pada individu yang mengalami gangguan ini (Asrori, 2015). Gangguan kecemasan sosial bukan hanya dapat dialami oleh remaja maupun orang dewasa, melainkan juga pada anak usia dini, dikarenakan pemberian stimulasi yang tidak tepat. Gangguan kecemasan sosial pada anak usia dini merupakan kondisi ketika anak merasa takut untuk berinteraksi dengan orang lain dalam suatu lingkungan, yang dapat menyebabkan anak merasa khawatir akan ditolak atau dinilai negatif oleh orang lain (Mulvariani et al., 2021). Anak dengan gangguan kecemasan sosial tidak hanya pemalu, anak juga sangat takut dipermalukan sehingga menghindari untuk melakukan hal-hal yang diinginkan atau perlu dilakukan.
2. PembahasanÂ
Teknik merupakan suatu cara, langkah, atau metode yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Bimbingan merupakan arahan, panduan, dan pengelolaan atau bisa juga disebut sebagai bantuan. Sedangkan konseling merupakan hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien (Mulvariani et al., 2021). Pendapat lain mengatakan bahwa konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif prilakunya. Dapat disimpulkan bahwa teknik bimbingan dan konseling adalah cara atau metode yang dilakukan untuk membantu, mengarahkan atau memandu seseorang atau sekelompok orang agar menyadari dan mengembangkan potensi-potensi dirinya, serta mampu mengambil sebuah keputusan dan menentukan tujuan hidupnya dengan cara berinteraksi atau bertatap muka.
Teknik bimbingan konseling yang pertama, yang dapat digunakan untuk melakukan pedekatan kepada anak yang memiliki kecemasan sosial adalah aktif. Aktif dalam pengertian ini ialah anak diharapkan mampu untuk selalu aktif dalam kegiatan bimbingan konseling ini. Tidak hanya pada anak, pihak pembimbing atau konselor juga harus aktif dalam kegiatan bimbingan konseling ini. Selain itu dalam kegiatan bimbingan konseling ini harus diupayakan untuk menjadikan anak berperan aktif di dalamnya, baik dalam mengambil keputusan, mengungkapkan pendapat ataupun hal lainnya. Semua kegiatan tersebut dilakukan dengan cara yang mengasyikkan yakni dengan bermain. Berbeda dengan bimbingan konseling pada anak SD ataupun SMP, bimbingan konseling pada anak usia dini dilakukan dengan cara yang lebih mengasyikkan contohnya sambil bermain. Kegiatan konseling yang dilakukan secara aktif bertujuan untuk memberikan pemahaman yang dapat diterima oleh anak dengan baik, terutama bagi anak yang mempunyai gangguan kecemasan sosial, teknik aktif mejadi faktor yang sangat peting dalam melakukan bimbingan konseling.
Teknik yang terakhir adalah menyenangkan, untuk dapat menarik perhatian anak sampai pada akhirnya anak dapat memusatkan perhatiannya dengan penuh tentu saja hal yang dapat pendidik lakukan adalah menciptakan suasana yang menyenangkan dalam setiap kegiatan yang dilakukan pada saat bimbingan konseling berlangsung. Selain itu kegiatan bimbingan konseling yang menyenangkan, membuat anak meraasa aman dan nyaman itu akan mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir) anak, kondisi yang menyenangkan juga dapat membuat kepercayaan diri anak meningkat serta dapat mengoptimalkan setiap proses kegiatan belajar sambil bermain yang dilakukan saat bimbingan konseling (Nuzliah, 2017). Namun jika terjadi sebaliknya, guru tidak dapat membuatt kegiatan bimbingan konseling yang menyenangkan dan terlihat sangat kaku serta penuh beban, maka akan membuat anak-anak merasa tidak nyaman dalam mengikuti kegiatan tersebut dan kegiatan bimbingan konseling tidak akan berjalan dengan lancar karena kurangnya minat dari anak-anak.
3. Kesimpulan
Teknik bimbingan konseling merupakan upaya atau cara atau metode yang digunakan untuk membantu anak agar dapat mengenal dirinya, kemampuannya, sifatnya, kebiasaannya, dan kesenangannya, membantu anak untuk mengembangkan potensinya, membantu untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi anak, serta menyiapkan mental dan sosial anak untuk memasuki tingkat lembaga pendidikan selanjutnya. Dalam hal ini, implemtasi teknik bimbingan konseling juga dapat dilakukan dalam mengatasi anak yang mengalami gangguan kecemasan sosial. Teknik- teknik bimbingan konseling yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan kecemasan sosial anak usia dini yaitu aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dalam teknik aktif, konselor dituntut untuk menghidupkan suasana kegiatan bimbingan konseling sehingga anak juga dapat berperan aktif dalam kegiatan bimbingan konseling.
Artikel 3: mengembangkan kecerdassn  emosional anak usia dini melalui keteladananÂ
1. PendahuluanÂ
Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun (Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut para pakar pendidikan. Menurut Harun Rasyid (2009: 1) Anak usia dini adalah kelompok anak yang unik baik itu dari proses pertumbuhan dan perkembangannya. Pentingnya usia dini, karena pada masa ini merupakan masa emas atau golden age. Anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan tidak tergantikan pada masa mendatang. Perkembangan anak usia dini merupakan perkembangan usia yang sangat memiliki makna bagi kehidupan mereka, jika usia itu dioptimalkan pertumbuhannya melalui pendidikan yang tepat.
Tidak setiap anak berhasil melewati tugas perkembangan sosial emosional pada usia dini, sehingga berbagai kendala dapat saja terjadi. Sebagai pendidik sepatutnyalah untuk memahami perkembangan sosial emosional anak sebagai bekal dalam memberikan bimbingan terhadap anak agar mereka dapat mengembangkan kemampuan sosial dan emosinya dengan baik. Perlu kita ketahui bahwa proses pembelajaran sosial emosional pada anak. Â selain mendengarkan dan melakukan nasihat guru, juga dengan mengamati dan meniru hal-hal yang dilihatnya pada diri guru. Mereka juga melihat bagaimana guru mengelola emosi, menangani problem, mengkomunikasikan harapan, dan sebagainya.Mengingat anak dapat belajar denga memperhatikan cara orang dewasa bertindak dan berperilaku maka orang tua atau guru dapat mengajarkan sesuatu dengan memberik contoh keteladanan. Cara ini jauh lebih efektif daripada hanya sekedar memberi tahu anak apa yang harus dilakukan karena anak adalah para peniru ulung atas perilaku yang berhasil diamatinya.
2. Pembahasan
1. Pengertian Perkembangan Sosial EmosionalSosial emosional anak usia dini merupakan suatu proses belajar anak bagaimana berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan aturan sosial yang ada dan anak lebih mampu untuk mengendalikan perasaan-perasaannya yang sesuai dengan kemampuan mengidentifikasikan dan mengungkapkan perasaan tersebut. Sosial emosional anak berlangsung secara bertahap dan melalui proses penguatan dan modeling.
2.Karakteristik Sosial Emosional
Menurut Soemariati (2005: 33) karakteristik bersosialisasi anak TK di antaranya:
a) Anak memiliki salah satu atau dua sahabat tetapi sahabat ini cepat berganti
b) Kelompok bermain cenderung kecil dan tidak terlalu terorganisasi secara baik oleh
karena itu kelompok tersebut cepat berganti-ganti
c) Anak lebih mudah sekali bermain bersebelahan dengan teman yang lebih besar
d) Perselisihan sering terjadi tetapi sebentar kemudian mereka lebih berbaik kembali
3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Dini
Tiga faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan sosial emosi anak usia dini sebagai berikut.
a)Faktor hereditas
Rini Hildayati dkk (2007: 118) dalam bukunya mengatakan bahwa faktor Hereditas berhubungan dengan hal-hal yang diturunkan dari orangtua kepada anak cucunya yang pemberian biologisnya sejak lahir. Islam bahkan telah mengindikasikan pentingnya faktor hereditas dalam perkembangan anak sejak 14 abad yang lalu. Nabi Muhammad SAW, bersabda: "Menikahlah kalian dengan sumber (penghentian) yang baik, akrena sesungguhnya hal itu akan menurun kepada anak-anaknya."(HR. Muslim)
Faktor hereditas ini merupakan salah satu faktor penting yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak usia dini, termasuk perkembangan sosial dan emosi mereka. Menurut hasil riset, faktor hereditas tersebut mempengaruhi kemampuan intelektual yang salah satunya dapat menentukan perkembangan sosial dan emosi seorang anak.
b)Faktor lingkungan
Menurut Novan Ardy Wiyani dan Barnawi (2012: 35) faktor lingkungan  diartikan sebagai kekuatan yang kompleks dari dunia fisik dan sosial yang memiliki pengaruh terhadap susunan biologis serta pengalaman psikologis, termasuk pengalaman sosial dan emosi anak sejak sebelum ada dan sesudah ia lahir. Faktor lingkungan meliputi semua pengaruh lingkungan, termasuk di dalamnya termasuk di dalamnya pengaruh keluarga, sekolah, dan masyarakat.
c)Faktor Umum
Faktor umum di sini maksudnya merupakan unsur-unsur yang dapat digolongkan ke dalam kedua faktor di atas (faktor hereditas dan lingkungan). Mudahnya, faktor umum merupakan campuran dari faktor hereditas dan faktor  lingkungan. Faktor umum yang dapat memepengaruhi perkembangan anak usia dini yakni jenis kelamin, kelenjar gondok, dan Kesehatan.
Â
4.Problematika Perkembangan Sosial dan Emosi Anak Usia Dini Â
    Manusia merupakan makhluk monodualis, yaitu mahkluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Salah satu implikasi dari posisinya sebagai makhluk monodualis adalah untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan untuk menyelesaikan berbagai tugas kesehariannya manusia memerlukan bantuan orang lain. Kemampuan seorang individu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya ataupun menyelesaikan tugas-tugas kesehariannya biasanya ditentukan oleh kemampuannya dalam bersosialisasi. Ketidakmampuan seorang individu dalam bersosialisasi dipengaruhi oleh perkembangan aspek sosialnya yang terhambat. Salah satu dampak dari ketidakmampuan anak usia dini dalam bersosialisasi adalah anak usia dini dapat mengalami gangguan perilaku antisosial.
   Hal itu dapat disebabkan kekurang tepatan orangtua ataupun pendidik PAUD dalam mengasuh dan mendidik aak usia dini. Akibatnya anak usia dini mengalami problematika perkembangan emosi sebagai berikut:
a)Penakut
b)Rendah diri
c) cemas
d) pemalu
5.Pengembangan Kecerdasan Sosial dan Emosi Anak Usia Dini Melalui Keteladanan Pembelajaran dengan teladan adalah pembelajran melalui cotoh-contoh yang baik, dapat diterima oleh masyarakat, dan sesuai dengan standar dan sistem nilai yang berlaku. Dengan demikian, sebelum menjadi anak baik, seharusnya didahului oleh para guru karena metode ini efektif diajarkan ke anak melalui proses peniruan dan percontohan. Kegiatan keteladanan yang dapat ditularkan kepada anak usia dini untuk dapat mengembangkan sosial emosional antara lain meliputi hal-hal berikut ini:
a.Keteladanan dalam beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannnya masing- masing, seperti adab do.a, adab shalat, adab membaca kitab suci
b.Keteladanan dalam berhubungan dengan orang lain, seperti cara menyapa, cara meminta, cara berkomunikasi, tata krama, sopan santun, mengenadlikan marah
c.Keteladanan dalam bekerja dan menyelesaikan masalah, seperti bersabar, bersemangat, menjaga kondisi kerja, disiplin
d.Teladan dalam berpakaian dan berbusana, seperti berpakaian kerja, berpakaian pesta, berpakaian ibadah, berpakaian ke kematian, termasuk mengenakan sepatu, make up
e.Teladan gaya hidup, yaitu tidak boros, mandiri, sederhana, tidak berfoya-foya, dan sebagainya
f. Teladan cara belajar, yaitu sikap belajar, pemanfaatan waktu belajar, adab belajar, dan sebagainya
g.Keteladanan dalam menyikapi lingkungan, seperti membuang sampah pada tempatnya, membersihkan selokan oleh para guru dan diikuti oleh anak
h. Dan masih banyak yang lainnya, sesuai dengan perkembangan budaya dan kebutuhan isi keteladanan yang diperlukan oleh anak
3. KesimpulanÂ
Usia dini merupakan masa golden age yang mana anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan tidak tergantikan pada masa mendatang. Ketika anak mulai memasuki pendidikan KB ataupun TK anak mulai keluar dari lingkungan keluarga dengan suasana sosial emosional yang aman ke kehidupan yang tidak dialami anak pada saat mereka berada di lingkungan keluarga. Beberapa problem yang dialami anak pada usia dini antara lain, ketidakpatuhan, temper tentrum, perilaku agresif, penakut, pencemas, rendah diri, dan pemalu.
Kecerdasan interpersonal dan kecerdasan emosional pada anak usia dini ini tidak dimiliki oleh anak secara alami, tetapi harus ditumbuhkan dan dikembangkan oleh orangtua maupun pendidik PAUD dengan mengembangkan aspek sosial dan emosi anak usia dini. Karena Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan sosial emosional pada anak usia dini adalah faktor hereditas (orangtua), lingkungan dan umum.
Artikel 1 :pola pelasanaan bimbingan dan konseling untuk mengoptimslksn kemampuan anak autis di sekolah dasar.
1. Pendahuluan
Â
Keterlambatan orangtua dalam mengetahui kondisi autisme yang dialami oleh anak mereka akan berdampak pada perkembangan anak yang kurang optimal. Penanganan sejak sedini mungkin dibutuhkan bagi anak dengan spektrum autis. Meskipun begitu, penanganan yang berkelanjutan juga sangat diperlukan untuk menjaga dan mengoptimalkan perkembangan yang telah muncul, serta merangsang perkembangan lain yang belum terlihat. Sastry dan Aguire (2012, hal. 5) menjelaskan bahwa untuk memilih penanganan, pendidikan dan mengoptimalkan kemampuan anak autis dengan tepat orangtua perlu memiliki dua hal yaitu pertama, pengetahuan tentang minat, kekuatan dan kebutuhan khusus anaknya, selain itu juga tindakan apasaja yang dapat dilakukan orangtua. Kedua, mengikuti perkembangan riset untuk memahami ide-ide yang tepat diterapkan pada anak.
Â
Bimbingan dan konseling di sekolah dapat memberikan bantuan kepada keluarga untuk lebih mengenal kondisi anaknya. Seperti yang dijelaskan oleh Manusia perlu mengenal dirinya sendiri dengan sebaik-baiknya. Dengan mengenal dirinya sendiri, mereka akan dapat bertindak dengan tepat sesuai kemampuan yang ada pada dirinya. Walaupun demikian tidak semua manusia mampu mengenal mengenal segala kemampuan dirinya. Mereka ini memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengenal diri sendiri, lengkap dengan segala kemampuan yang dimilikinya dan bantuan tersebur dapat diberikan oleh bimbingan dan konseling.
Â
Â
2. Pembahasan
Â
Pola Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling untuk Mengoptimalkan Kemampuan Anak Autis di Sekolah Dasar Bimbingan dan konseling dibutuhkan tidak hanya bagi anak dengan spektrum autis tetapi juga keluarga khususnya orangtua si anak. Anak autisme membutuhkan lingkungan yang konsisten dan mendukungnya dalam mengoptimalkan kemampuannya. Lingkungan yang konsisten ini terutama adalah sekolah tempat anak mendapatkan pendidikan formal dan di rumah bersama keluarga dimana anak melakukan interaksi lebih intens dan dengan waktu yang lebih panjang. Begitu juga keluarga atau orangtua dari anak autis membutuhkan bantuan dalam memahami dan memberikan tindakan khusus bagi anak mereka agar dapat mengoptimalkan kemampuannya. Interaksi sehari-hari orangtua dengan anak-anak akan membentuk perilaku dan pembelajaran mereka.
Pola umum Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling untuk Mengoptimalkan Kemampuan Anak Autis di Sekolah Dasar
Â
a. Identifikasi
Proses identifikasi dilakukan untuk mengetahui kondisi anak dan keluarga atau orangtua agar dapat memetakan kemampuan anak. Pemetaan kemampuan juga berlaku bagi kondisi keluarga, agar konselor mengetahui dan dapat menyesuaikan serta memberikan masukan kepada orangtua mengenai rancangan program BK (pada tahap selanjutnya). Untuk mengidentifikasi kondisi anak dan keluarga digunakan teknik assesment dengan teknik pengumpulan data disesuaikan oleh kebutuhan. Asesmen merupakan proses mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data atau informasi tentang peserta didik dan lingkungannya
Â
Hal tersebut dilakukan untuk mendapat gambaran berbagai kondisi individu dan lingkungannya sebagai dasar pengembangan program layanan bimbingan dan konseling yang sesuai kebutuhan. Lidz menjelaskan bahwa asesmen merupakan proses pengumpulan informasi untuk mendapatkan profil psikologis anak, yang meliputi gejala dan intensitasnya, kendala-kedala yang dialami, kelebihan dan kelemahannya, serta peran pendukung yang dibutuhkan anak Setelah melakukan pemetaan terhadap kondisi yang ada khususnya anak autis, selanjutnya hasil tersebut digunakan untuk merancang program bimbingan dan konseling yang merupakan solusi dari permasalahan yang ada.
Â
b. Solusi atau Program BK
Solusi atau program bimbingan dan konseling yang dibuat harus mengacu pada hasil asesmen yang telah dipetakan sebelumnya. Selain itu juga program ini dapat disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan akan pendidikan yang ada di sekolah dengan memprioritaskan kebutuhan anak autis. Karena pada hakikatnya pendidikan berusaha untuk memaksimalkan perkembangan dan kemampuan peserta didiknya. Sebuah intervensi yang memampukan pembelajaran, adaptasi dan perkembangan dapat membuat hidup bisa lebih dikelola.
Â
Program bimbingan dan konseling yang telah dirancang juga harus melalui proses diskusi orangtua dan pihak sekolah terutama kepala sekolah atau guru kelas anak yang bersangkutan. Hal ini mengingat bahwa integrasi dan konsistensi lingkungan anak dalam melaksanakan program tersebut sangatlah penting.
Â
c. Pelaksanaan
Proses pada pola umum di atas yang terakhir adalah pelaksanaan. Pada proses pelaksanaan ini diperlukan adanya sosialisasi mengenai hasil asesmen, yaitu pemetaan kondisi anak kepada keluarga atau orangtua. Ketika orangtua memiliki gambaran yang akurat mengenai kekuatan dan kelemahan putra-putrinya, maka mereka bisa menentukan dan mendukung terapi dan akomodasi yang paling cocok untuk anaknya [1]. Sangat penting bagi orangtua untuk mengetahui kondisi anaknya sebelum melakukan intervensi terhadap anak. Selain itu, dengan mengetahui kondisi anaknya maka dapat mengurangi ketegangan emosi akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi mengenai keadaan yang dialami oleh anaknya.
Selanjutnya konselor melakukan sosialisasi kepada anak autis dan orangtua mengenai program yang akan dilaksanakan secara terperinci. Selain memberikan pengetahuan mengenai program, sesuai prinsipnya konselor atau pembimbing juga memberikan bimbingan kepada anak dan orangtua dalam melaksanakan program tersebut. Sesuai tujuan awal dari pelaksanaan bimbingan dan konseling yaitu membangun lingkungan yang integratif dan konsisten di sekitar anak autis tingkat sekolah dasar, maka konselor juga melakukan pemantauan terhadap hubungan atau pelaksanaan program antara anak dan orangtua.
Â
3. Kesimpulan
Â
Bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan masukan dan solusi bagi perkembangan pendidikan baik bagi sekolah itu sendiri maupun peserta didik. Beragamnya permasalahan yang dialami oleh siswa terutama anak dengan spektrum autis yang memiliki masalah-masalah terutama dalam perkembangannya membutuhkan campurtangan bimbingan dan konseling untuk merancang sebuah program yang terintegrasi dengan lingkungan anak. Pola pelaksanaan bimbingan dan konseling dalam mengoptimalkan kemampuan anak autis ini terbagi menjadi tiga tahapan yaitu melakukan identifikasi anak dan keluarga sebagai dasar melakukan pemetaan kemampuan dan hambatan, selanjutnya berdasarkan hal tersebut dirancang sebuah program bimbingan dan konseling yang memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H