Turi merasa bahwa dia adalah anak paling berbahagia di dunia. Di dalam pikiran sederhananya, sosok ibu adalah pelita kehidupan dan sumber semangat hidupnya. Â Dia sangat bangga pada ibunya yang sangat lihai memasak. Walaupun saat ini fisiknya di dera penyakit yang tidak dapat disembuhkan, namun Ibu selalu optimis bahwa semua akan baik-baik saja. Ibu Turi tetap bersemangat menyajikan aneka makanan lezat untuk keluarganya.
"Ayo dimakan hidangannya?" sapaan ramah itu selalu terdengar saat tiba waktu makan. Turi dan saudara-saudaranya sangat berbahagia mendengar alunan lembut suara Ibu. Walaupun yang tersaji di meja makan hanyalah nasi ditemani tempe goreng, orak-arik telur dan sayur bening bayam, namun suasana yang begitu harmonis menjadikan rumah mereka jauh dari dendam dan amarah. Penyakit kanker getah bening yang menyerang  ibu Turi sejak beberapa tahun lalu tidak pernah menyurutkan semangat sang ibu memasak makanan favorit keluarga. Dia melupakan sakitnya dan selalu melepas anak-anaknya berangkat sekolah dengan senyum terkembang.Â
Suatu hari di musim kemarau nan panas membara. Di dalam kondisi perut keroncongan saat pulang sekolah, Turi hanya menemukan sepiring nasi kuning, sebungkus kerupuk dan segelas teh manis. Rumah sepi, tidak ada seorangpun di dalamnya. Saat Turi menyantap nasi kuning, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Turi segera membukanya.
"Ada apa Pak?" Turi bertanya kaget pada Mandor Sinyo yang tampak galau dihadapannya.
"Sekarang ibumu ada di rumah sakit. Saya ditugaskan bapak menjemputmu sekarang."
"Ibuku kenapa?apa yang terjadi padanya?" Turi kebingungan melihat sikap Mandor Sinyo. Mandor Sinyo tidak menjawab, wajahnya terlihat muram. Dia  menarik tangan Turi menaik motornya dan memacu kendaraan itu menuju ke rumah sakit. Saat tiba di tujuan, kamar tempat ibu dirawat penuh isak tangis. Turi sangat kaget melihat bapak dan kakak-kakaknya menangis mengelilingi sebuah jasad yang terbujur kaku bertutup kain panjang batik. Ternyata ibu sudah meninggal. Turi menjerit histeris dan pingsan. Dia tidak kuat kehilangan ibu secara tiba-tiba. Nasi kuning yang barusan dimakannya merupakan tanda cinta terakhir dari ibu tersayang.
Turi memandang jendela kamar yang terbuka lebar. Halaman basah setelah hujan deras. Dia masih dapat merasakan wangi tubuh ibu dari jendela kamarnya. Bebauan harum dari surga yang terbawa angin sepoi mendera hidungnya. Ibu Turi meninggal tepat saat semua perempuan merayakan Mothers Day. Turi memandang langit, hatinya sangat rindu pada ibu. Sekarang bayangan ibu dan kenangan akan semua perhatiannya  sangat membekas di dalam memorinya.  Turi menutup matanya, air matanya menetes. Terkirim doa ke langit semoga ibu tenang di alam baka dan diberikan taman terindah untuk ditempatinya.
"Selamat Hari Ibu, aku selalu merindukanmu, ibuku tersayang," ditulisnya kalimat itu dalam secarik kertas. Dilemparkannya helaian kertas itu ke aliran air yang mengalir di bawah jendelanya. Turi melihat potongan kertas itu terbawa jauh bersama laju air. Air mata Turi mengalir deras, bagaikan aliran air yang membawa potongan pesannya dalam secarik kertas. Dia sangat merindukan kehadiran ibu yang telah pergi untuk selama-lamanya. Â Semoga Ibu menerima pesan rinduku ini (srn).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H