"Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Dimana kuburannya Pak?"
Aku sangat berharap terbuka jalan untuk segera menemui sosok impianku walaupun dia sudah tidak bernyawa. Walaupun  hanya gundukan tanah kuburan, aku ingin bertemu dengan lelaki itu dan mengucapkan sepatah kata untuknya. Pak Udin menggeleng, air matanya makin deras mengalir.
"Den Yucel sudah dikremasi, abunya ditabur ke laut," tangis Pak Udin meledak. Dia kembali menghapus air mata dengan lengan bajunya. Tanpa kusadari, air mataku menetes mendengar cerita Pak Udin.
"Nyonya bilang Den Yucel harus dikremasi supaya sisa kuman yang masih ada di badannya tidak menulari orang lain. Nyonya juga ingin melupakan semua kenangan buruk tentang Den Yucel dan penyakit yang di deritanya," tangis Pak Udin seiring dengan remuknya perasaan dalam dadaku.
"Saya sudah lama mencarimu. Saya mau sampaikan titipan dari Den Yucel," Pak Udin memberikan kepadaku sebuah amplop berwarna hijau muda terbungkus plastik bening. Segera kubuka dan kubaca isi kartu yang berada di dalamnya. Terukir kalimat menggunakan tinta pulpen berwarna ungu metalik:  Terima kasih untuk kamu yang telah memberikan sedikit rasa hangat di akhir kehidupanku di dunia. Terbanglah ke langit bersama cita-citamu untuk mewujudkan semua impianmu.  Salam persahabatan dariku, Yucel Dewantara. Mataku takjub membaca guratan tinta  yang begitu indah maknanya untukku. Aku terduduk lemas di samping Pak Udin sambil memeluk kartu bergambar sepasang jamur berwarna merah vermilion. Sederas apapun air mataku, Yucel tidak akan pernah kutemui lagi (srn).
Quotes:
Jika dia lelaki takdirmu, yakinlah dia akan datang dalam bentuk yang berbeda (srn).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H