Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers, https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada dan Tiada

19 Agustus 2023   20:31 Diperbarui: 19 Agustus 2023   20:37 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jendela hotel Du Passage (Sri NurAminah, Enkhuizen Noord Holland, Juni 2015)

"Sudah puluhan kali saya melarangmu berkomunikasi dengan siapapun yang bertinggal sekitar rumah ini. Siapa itu yang ada di luar dan apa yang kamu bawa di tanganmu itu?"

"Teman Den Yucel yang membawa kue ini."

"Katakan pada orang itu, tidak ada namanya Yucel bertinggal disini. Sekarang kamu masuk ke dalam benahi isi gudang. Cepat buang bungkusan itu ke tong sampah. Aku tidak mau tertular penyakit dari orang yang tidak dikenal," terdengar pekikan tajam si Nyonya pemilik rumah. Jantungku serasa copot saat kulihat dari celah gerbang, Pak Udin membuang bungkusan kue milikku ke dalam tong sampah.  Di dekat tong sampah berdiri seorang perempuan bertubuh pendek, memakai baju warna warni dengan dandanan menor. Bibir dan kuku panjangnya dipoles warna merah menyala. Dia terlihat sangat angkuh, tangannya sibuk menunjuk kiri dan kanan. 

Mulutnya menghamburkan kata-kata tanpa jeda, terasa menusuk gendang telinga dan lubuk hatiku yang paling dalam. Kurasakan butiran air hangat membasahi pipiku. Hari ini kue hasil jerih payahku menabung uang jajan sukses menjadi penghuni tong sampah. Aku berlari meninggalkan gerbang rumah mentereng itu sambil mengusap air mataku yang tidak terkendali bagaikan bendungan jebol.

Aku sakit hati dengan perlakuan penghuni rumah mewah itu. Aku melupakan sosok lelaki misterius yang selalu kulihat dari balik jendela kamar di lantai dua. Sosok 'kekasih' misterius yang selalu aku rindukan lambaian tangannya. Duniaku serasa gelap gulita. Kejadian pahit itu menyebabkan aku memutar mengambil jalan alternatif lainnya jika berangkat ke sekolah. Aku menghindar melewati jalan di depan rumah Yucel, bagaikan seekor tikus terkena jera umpan. Walaupun sisi kiri kanan jalan yang kulalui sekarang hanya kanal berbau busuk dan semak belukar, hatiku merasa nyaman. Bayangan buruk kueku menjadi penghuni tong sampah sangat menggores batinku. Aku sudah berjuang keras mengumpulkan uang jajanku sebagai pembeli kue untuk  lelaki misterius yang menjadi matahariku, sumber semangatku. Sayangnya  perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan.

Beberapa bulan kemudian, tanpa sengaja aku bertemu pak Udin yang sedang berbelanja di warung Mak Odah. Wajah bapak itu terlihat sangat lelah. Sambil merokok, dia menghitung uang kembaliannya di sebuah bangku tua.

"Pak Udin? Bagaimana kabarnya Pak," sapaanku membuatnya sangat terkejut. Kulihat kelopak mata Pak Udin basah. Rokoknya yang masih menyala terjatuh ke tanah. Dia mengusap lelehan air mata dengan ujung kemejanya yang kumal.

"Den Yucel...." kalimatnya terhenti oleh isakan tangisnya.

Jleb...jantungku kembali berdebar hebat tidak karuan mendengar nama itu. Walaupun aku belum pernah bertemu muka dengan lelaki bernama Yucel, aku heran kenapa batinku merasa begitu dekat dengan sosok yang disebut namanya oleh Pak Udin. Apakah dia adalah jodohku dari Tuhan?

"Yucel kenapa Pak?"

"Dia sudah meninggal seminggu yang lalu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun