Rasa penasaran menyebabkan aku nekad mengetuk pintu gerbang rumah Yucel. Pak Udin yang membuka pintu. Matanya melebar tidak percaya melihat kehadiranku. Dia segera menarik tanganku ke tepi gerbang yang agak terlindung dari jalanan.
"Kenapa kamu datang kemari?" suara Pak Udin terdengar sangat cemas.
"Saya mau ketemu Yucel," jawabku mantap.
"Tidak seorangpun boleh bertemu Den Yucel. Kamu pulang sekarang sebelum Nyonya menahu kehadiranmu, dia pasti marah besar melihatmu. Darimana kamu kenal dengan Den Yucel?"
"Setiap pagi kami selalu bertemu saat saya berangkat ke sekolah. Dia selalu melambaikan tangannya ke arahku. Mohon jelaskan kepada saya, mengapa Yucel tidak boleh ditemui."
"Kamu cerewet sekali. Pulanglah ke rumahmu sekarang."
"Ada apa dengan Yucel? Tidak bolehkah saya berkenalan dengan dia?"
Pak Udin menghela nafasnya dengan berat. Tampaknya dia kesulitan menjawab pertanyaanku. Lelaki tua itu memandangku dengan tajam. Raut wajahnya tampak sangat kesal.
"Dulunya Den Yucel adalah bintang sepak bola di sekolahnya. Setelah divonis sakit kanker darah dan menjalani pengobatan kemoterapi, Den Yucel berhenti sekolah. Badannya susut dengan sangat cepat, orang tuanya sudah menyerah dan pasrah dengan keadaan. Mereka tidak mau masyarakat disini ikut campur tentang penyakit anaknya. Jika Nyonya menahu aku berbicara denganmu, aku pasti dipecat olehnya. Sekarang kamu pulang ya," Pak Udin segera membalikkan badannya.
"Saya membawakan kue untuk Yucel, mohon bantuan Pak Udin menyampaikan padanya," kuberikan bungkusan itu ke tangannya. Tiba-tiba terdengar pekikan serak suara perempuan memanggil namanya.
"Iya Nyonya, sebentar..." Pak Udin segera berlari ke dalam gerbang.