Rasanya aku seperti bermimpi menggenggam tiket pesawat Malaysian Airways rute Jakarta -- Kuala Lumpur -- Amsterdam dan berdiri di pintu keberangkatan Soekarno Hatta International Airport.  Kulihat lagi koper dan ransel yang siap menemani perjalananku melintas benua. Aku menghela nafas sambil menyebut asma Allah. Terbayang jelas kejadian beberapa hari sebelumnya, ibu mertuaku telah berlinang air mata melarang kepergianku ke negeri Kincir Angin karena telah terjadi insiden mengerikan. Saat itu pesawat MH 17 meledak terkena rudal di atas langit Ukraina. Aku menggenggam erat tangan keriput beliau dan menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku meminta doa restunya supaya segera kembali ke rumah dengan selamat dan berkumpul kembali seperti sediakala. Air mataku menggenang dan hatiku terasa sangat bahagia. Terucap jutaan rasa syukur karena doaku telah diijabah  oleh Allah Subhana Wa Ta'ala. Aku telah diberikan rezeki dan kesempatan meningkatkan kompetensiku ke negeri bersalju tempat almarhumah nenek buyutku  tidur dalam keabadian.
Saat itu bulan Juni tahun 2015. Setelah melalui seleksi yang cukup ketat, aku memperoleh beasiswa Netherlands Fellowship Program (NFP) dari Pemerintah Kerajaan Belanda untuk mengikuti kegiatan international course Integrated Pest Management and Food Safety, disponsori oleh CDI Wageningen. Durasi kegiatannya sekitar tiga  minggu yang berlangsung di Wageningen University and Research, The Netherlands. Pemerintah Kerajaan Belanda sebagai sponsor kegiatan menanggung tiket dan akomodasi selama berlangsungnya kegiatan internasional itu. Tiket pesawat dan semua rincian kegiatan dikirimkan lengkap via email. Peserta diminta menyediakan personal expenses untuk belanja belanji selama berada di negeri nan dingin itu. Perjalanan ini sungguh panjang, dimulai saat aku meninggalkan Sultan Hasanuddin International Airport menuju ke Soekarno Hatta International Airport. Sekitar jam 19.00 wita, aku melakukan boarding di gate Malaysian Airways menuju ke Kuala Lumpur. Tiba di bandara Kuala Lumpur, aku bertemu dengan empat orang peserta dari Jakarta dan Lampung yang akan mengikuti kegiatan yang sama. Setelah transit sekitar 1 jam, kami boarding  Malaysian Airways menuju ke Amsterdam. Penerbangan non stop ditempuh sekitar 13 jam. Selama penerbangan, para pramugari menyajikan makanan khas Malaysia berupa nasi lemak dan ayam lengkap dengan sambalnya yang sangat menggugah selera. Setelah itu disajikan jus buah atau teh panas untuk  menyegarkan mulut. Di dalam menghabiskan waktu selama penerbangan, aku menonton film yang disediakan oleh pesawat sambil sesekali meminta air minum. Sungguh luar biasa kurasakan diriku terbang gratis menuju ke negara yang terkenal dengan kincir angin dan klompennya itu.
Saat pilot memberitahukan penumpang untuk bersiap mendarat di Schiphol Airport, The Netherlands, jantungku seakan mau meledak saking gembiranya. Dari balik jendela pesawat yang memperlihatkan keindahan pagi di Amsterdam, kulihat aneka pohon berwarna warni  menghias hamparan nan luas. Terdapat jejeran rumah dan kincir angin yang berada di bagian tepi bandara, seakan melambaikan gembira menyambut kedatangan kami. Duhh...hatiku terasa sangat bahagia dan berbunga-bunga bagaikan bunga tulip yang mekar terkena matahari pagi. Udara sejuk sedingin es langsung menghantam wajahku saat berada di pintu pesawat. Aku mencubit lenganku hanya untuk memastikan bahwa saat itu aku bermimpi atau tidak. Ternyata ini memang nyata adanya. Aku menghirup nafasku sedalam mungkin, memasukkan udara pagi nan segar dari Amsterdam memenuhi paru-paruku. Perjalanan menuju ke ruang baggage claim terasa sangat menyenangkan. Pagi itu bandaranya belum terlalu ramai sehingga aku dapat berjalan santai menikmati suasana. Jejeran penjual souvenir khas Belanda plus berbagai macam balon welcome warna warni terlihat sepanjang jalan menuju pintu keluar. Keindahan warna pernak pernik ini sungguh menghangatkan hati. Di pintu keluar aku bertemu dengan Winny de Jong, sahabatku semasa SMA yang telah menjadi warga negara Belanda. Winny, suaminya  dan dua orang anaknya telah menyempatkan waktu menjemput kedatanganku ke Schiphol. Sungguh luar biasa rencana Tuhan mempertemukanku kembali dengan sahabat semasa SMA. Aku sampai speechless melihat keindahan nyata yang terpampang di depan mata. Suatu perjalanan yang jauh dari rumah akan selalu membuka wawasan untuk melihat perubahan baru yang terjadi di sekitar kita. Dengan mengendarai mobil yang dikemudikan oleh Fokke de Jong, keluarga nan ramah ini mengantarku ke Hof van Wageningen yang menjadi tempat tinggalku selama berada di Belanda. Jarak dari bandara Schiphol ke Hof van Wageningen sekitar 90-an km yang ditempuh selama lebih dari sejam melalui jalan tol yang luar biasa bersih, luas dan pengemudinya tertib berlalu lintas.
Sepanjang perjalanan Winny menjelaskan padaku tentang kondisi negeri Belanda. Kami juga bercerita tentang kenangan masa SMA. Dimitri dan Laticia (nama anak Winny de Jong) Â saat itu masih di Elementary School, bingung mendengar bahasa Makassar yang kami gunakan. Mereka tampak sedikit merajuk karena tidak mengerti isi pembicaraan kami. Akhirnya aku menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan Dimitri dan Laticia. Mereka menjadi sangat gembira karena kami dapat bertukar cerita. Selain menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa nasional, sistem pendidikan Belanda juga menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar resmi di sekolah. Inilah kehebatan adopsi teknologi jika sumber daya manusianya mempunyai skill menguasai bahasa Inggris sebagai pengantar menuju globalisasi.
Akhirnya kami tiba di Hof van Wageningen. Resepsionis menyajikan teh panas untuk meredam dinginnya cuaca. Sambil menyajikan teh, resepsionis menyampaikan kabar buruk bahwa peserta international course tidak dapat tinggal di tempat tersebut. Beberapa hari sebelumnya terjadi korsleting di lift sehingga sarana itu menjadi sangat berbahaya jika tetap digunakan. Dengan membawa surat dari resepsionis, Winny sekeluarga mengantarku menuju ke Hotel de Bilderberg Oosterbeek yang memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit dari Hof van Wageningen. Ditemani oleh Winny, aku segera melakukan check in dan mendapat kunci kamar elektrik. Hotelnya sangat cantik bergaya kolonial. Dengan bantuan Google, suami Winny menunjukkanku arah kiblat untuk solat. Setelah membenahi beberapa barang dan menyerahkan ole-ole untuk keluarga Winny, aku mengantarnya ke lobby. Kami janji bertemu kembali di minggu berikutnya saat weekend. Tadi aku sudah sempat melihat bunga tulip dan kincir angin saat di airport. Masih ada satu mimpi yang harus kutuntaskan, apakah itu? Aku harus berfoto memakai kostum Noni Belanda di Volendam.
Hari Sabtu pagi, Winny de Jong datang menjemputku ke Hotel de Bilderberg. Bersama suami dan anaknya, dia membawaku menuju ke stadion AJAX Amsterdam. Setelah berkeliling dan berfoto pada beberapa spot menarik, aku diajak ke rumahnya. Sekilas rumahnya seperti jejeran perumahan di Indonesia tetapi tidak mempunyai pagar. Setelah minum teh, kami menuju ke Central Station untuk menaik bis menuju Volendam, sebuah kota nelayan terkenal yang berada di bagian Noord Holland. Volendam adalah destinasi utama untuk pelancong melakukan sesi foto kostum ala noni dan pemuda Belanda. Perjalanan ini terwujud setelah aku melakukan perjanjian 2 bulan sebelumnya dengan Winny. Perjalanannya penuh liku-liku  karena harus berganti bus dan train dari Amsterdam ke Volendam. Ritual pergerakan transportasinya sangat cepat sehingga aku harus berlari mengejar bis yang jadwal operasionalnya sangat terbatas.
Tiba di Volendam, aku segera diantar ke salah satu studio foto disana. Setelah melakukan transaksi pembayaran, aku diarahkan masuk ke ruang ganti baju. Pelayannya dengan ramah membantu memakai kostum noni Belanda yang fenomenal itu. Kakiku tertatih kaku memakai klompen kayu yang berat dan besar sehingga kedodoran di kakiku. Ternyata baju noni Belanda itu berat karena banyak sekali manik-manik dan sulamannya. Akhirnya aku masuk ke ruang studio dan bergaya ala noni Belanda dari pedesaan.