Mohon tunggu...
Sri Sulastri
Sri Sulastri Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Saya adalah seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu sekolah swasta di Depok

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bu Afi Inspirasi Hati

6 Agustus 2024   13:00 Diperbarui: 8 Agustus 2024   08:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SMP Assyifa, itulah nama sekolahku. Aku duduk di kelas Tujuh E. Aku tak suka dengan suasana kelasku ini. Kelas ini sangat kacau. Sangat crowded dengan ujaran-ujaran kebencian. Karena sifat beberapa teman yang menurutku aga lebay dan sok berkuasa di kelas. Ya, mereka terdiri dari tiga perempuan yang sok cantik, sok pintar, sok berkuasa. Anak laki-laki di sini menyebutnya dengan julukan ‘tribel’ trio gembel. Mungkin julukan itu cocok dengan sikap arogan mereka.

Karena prilakunya, mereka sempat di panggil guru BK (bimbingan konseling) dan wali kelas. Namun nasihat itu masuk ke kuping kanan ke luar ke kuping kiri. Mereka semakin menjadi-jadi dan semakin sinis di kelas setelah pemangilan itu, seakan menantang perang kepada kami. Hampir seluruh kawanku tidak suka dengan sikap mereka. Sampai suatu hari perang dingin tersebut sampai ke telinga guru bahasa indonesiaku. Afifah Nurfadillah itulah nama guruku.

Tet…tet...tet... bel masuk berbunyi. Sekarang pelajaran bahasa indonesia. Langkah kaki guruku terdengar.

“Ada bu Afi, ada bu Afi….” ketua kelas kami mengisyaratkan agar kami merapikan posisi. Ya, bu Afi adalah nama panggilan dari kami. Ketika masuk, raut wajah bu Afi tidak seperti biasanya, ada yang berbeda. Aku sangat mengenal beliau, karena bu Afi adalah guru favoritku. Setelah mengucap salam dan menyimpan tas serta bukunya di meja. Ia berjalan menuju ke bagaian depan kelas. Matanya menyorot seluruh wajah siswa, aku pun tak luput ditatapnya. Suasana kelas hening beberapa saat. Wajahnya kali ini sangat misterius. Entah apa yang ingin ia sampaikan, aku masih bertanya-tanya. Setelah menahan rasa penasaran, akhirnya bu Afi melontarkan kata-katanya.

“Ibu akan menceritakan sebuah kisah kepada kalian, mohon di simak dengan baik,” ucap bu Afi dengan wajah yang sangat serius. Hawa kelas pun semakin hening. Bu Afi memulai ceritanya.

“Dulu ada seorang gadis kecil yang duduk di bangku kelas empat SD. Hari pertama sekolah. Seakan sebuah tradisi, bahwa yang datang pertama berhak memilih meja yang akan ia tempati selama satu tahun. Karena ia datang pertama dan ia bertubuh pendek, ahirnya gadis kecil itu memilih bangku paling depan. Karena jika ia duduk di belakang, pasti pelajaran yang di sampaikan oleh guru tidak terlihat dan terserap sempurna olehnya. Ia menyimpan tasnya di meja, sebagai tanda bahwa meja tersebut sudah menjadi miliknya. Setelah itu ia pun membeli jajanan di warung dekat sekolah,” Bu Afi sangat menghayati ceritanya. Aku dan teman-temanku terhanyut dengan untaian kata-kata beliau.

“Setelah jajan selesai, gadis kecil itu kembali ke kelas. Ketika sampai, Ia kaget bukan kepalang, tas yang ia simpan di meja paling depan tadi ternyata sudah berada di belakang. Entah tas siapa yang berada di meja depan itu. Bagaikan di sambar petir, rasa marah, kesal, benci menjadi satu.  Ia hanya bisa menangis. Ia masih berdiri di dekat meja paling depan, meratapi tempat duduk yang sudah di rampas darinya. Tiba-tiba dua gadis datang seraya tertawa. Mereka memandang sinis ke gadis kecil, kemudian duduk di bangku paling depan itu. Mereka berdua bisa dibilang anak yang sok menguasai kelas, sok pintar, sok cantik. Karena mungkin kepandaiannya dan keaktifannya waktu kelas tiga dulu. Gadis kecil yang malang itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia tergolong anak yang pendiam dan tidak begitu pintar pula di kelas. Sehingga kerap di remehkan serta disisihkan oleh teman-temannya. Terutama oleh dua orang yang sok berkuasa itu.”

Cerita bu Afi terhenti. Ia menghela nafas. Posisi tempat dudukku dekat tembok, sehingga aga leluasa menoleh ke arah teman-temanku. Aku melihat seluruh temanku membisu terpaku. Menanti cerita bu Afi selanjutnya. Dengan menghela nafas cukup panjang, bu Afi pun melanjutkan.

“Singkat cerita, gadis kecil tadi kini ia sudah menjadi mahasiswi. Ketika ia pulang kuliah dan menaiki angkutan umum, ia duduk diantara himpitan penumpang. Tiba-tiba seorang perempuan yang ada di hadapannya menyapa. Ternyata ia adalah teman sekelasnya dulu yang tidak bisa ia lupakan. Ya, dialah yang dulu memindahkan tasnya itu. Ia tidak menyimpan dendam sama sekali, tetapi dengan melihat wajahnya, bayang-bayang kejadian itu selalu muncul. Mereka berbincang-bincang, yang intinya temannya itu bercerita bahwa ia tidak bisa melanjutkan sekolah, padahal sangat ingin kuliah, dan ia kini hanya karyawan di sebuah PT. Gadis itu merasa bersyukur, karena dapat melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Ketika temannya itu bercerita, tampak wajah sedih, malu, entahlah mungkin ia malu karena perihal yang dulu ia lakukan pada gadis itu.”

Seluruh bibir di kelas membeku, tikak ada yang berucap sedikit pun. Lagi-lagi bu Afi menghela nafas. Aku semakin penasaran. Aku melihat ke arah temanku ‘tribel’ itu, raut wajah mereka, aku tak melihat jelas, karena tertunduk malu, nampaknya ia merasa tersinggung dengan cerita bu Afi. Kemudian bu Afi melanjutkan ceritanya

“Sebenarnya tidak hanya kejadian itu yang membuatnya sakit hati, namun tragedi itulah yang paling di ingat olehnya.” Terhenti sesaat. Bu Afi menundukan wajahnya. Kelas menjadi hening. Kemudian ia mengangkat wajah dengan pasti dan berkata “Kalian tau bagaimana nasib gadis kecil itu dan temannya saat ini??” Tanya bu Afi memecah keheningan. Semua kepala menggeleng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun