Mohon tunggu...
Sri Rahayu
Sri Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai literasi

Seorang ibu rumah tangga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rebut Suami Kakak Sepupu

20 November 2022   21:03 Diperbarui: 20 November 2022   21:28 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pekerjaan beres-beres rumah hari ini cukup menyita waktu sehingga tidak sempat saya membuka handphone sama sekali. Jam empat sore baru sempat baca WA. Ada WAG orang tua murid ex SD anak keduaku rame ada berita duka cita. Saya scroll ke atas rupanya masih rancu yang meninggal orang tuanya siapa. Akhirnya saya personal chat ke mamanya Ika salah satu orang tua murid yang sudah cukup dekat dengan saya

" Bu, siapa yang meninggal?"

"Nggak tau mama Uma, coba saya tanyakan ke mama Ado yang sesama orang Padang. Biasanya kekerabatannya cukup dekat"

"Ya bu, kabarin aku ya. Rasanya sudah gemeteran kalau ada berita duka cita. Keingetan ayahnya anak-anak yang sudah meninggal satu setengah tahun yang lalu. Kabarin aku ya bu"

"Ya mama Uma"

Lima menit kemudian ada balasan dari mama Ika.

Baca juga: Seblak

"Ayahnya Amar yang meninggal bu"

"Inalillahiwainailaihi rojiun. Aku nunggu Uma pulang sekolah aku ke sana takjiah ya bu. Tungguin aku. Karena di rumah nggak ada kendaraan. Mobil dibawa kakak kerja dan motor dipakai Uma sekolah"

"Ya bu. Mama Ado sudah di sana juga"

Saya langsung mandi dan menunggu Uma pulang sekolah. Saya sebenarnya tidak terlalu akrab dengan mamanya Amar, tapi belakangan ini kami para emak-emak mantan TK yang anaknya sekarang sudah SMA suka kumpul-kumpul, healing bersama, makan-makan dan meet up mendadak. Jadinya sudah kayak saudara rasanya.

Sambil menunggu Uma pulang saya WA ke mamanya Ado

"Bu, disana sampai jam berapa? Nggak banyak dari kita yang datang kayaknya kan bu, tungguin aku ya bu. Nggak enak kalau sendirian. Tadi sudah janji sama mama Ika juga sih"

"Aku sampai malam bu, kami sesama Padang biasanya memang menunggu sampai acara selesai. Kami sudah seperti keluarga sama keluarga almarhum"

"Oh baik bu"

Agak lega juga aku soalnya ada temannya di rumah keluarga yang berduka. Karena sudah mendekati magrib aku baru berangkat.

Tiba di rumah Amar langsung ketemu sama mama Ado yang memang dari tadi duduk di luar rumah. Masih terlihat tidak terlalu ramai. Mungkin karena saya datang agak malam kali ya. Hampir isyak saya baru sampai sana. Mama Ika sudah pulang duluan karena sudah malam.

"Duduk sini bu, jenazahnya belum sampai bu"

"Oh masih di Rumah Sakit ya bu?"

"Iya bu, meninggalnya tadi jam setengah dua siang kemudian antri untuk di sucikan/dimandikan karena kebetulan di RS banyak yang meninggal hari ini tadi lalu urus surat-suratnya jadi pasti agak lama. Nanti mau langsung di makamkan biarpun sudah malam, makamnya kan deket sini kira-kira 200meter dekat sekolah SD anak-anak kita dulu bu"

"Oh gitu bu. Aku nunggu jenazahnya dulu bu nanti baru pulang." kataku

"Iya bu, kalau saya mah pasti abis beres semuanya baru pulang nanti dijemput suami"

"Emang saudara Amar ada berapa bu?"

"Berdua saja. Amar yang besar dan adiknya masih SMP. Nah tu dia anaknya yang masih pakai seragam" kata mama Ado sambil nunjuk seorang anak yang masih bergerombol dengan teman-teman SMPnya.

"Nah kalau itu abangnya yang paling besar, agak terganggu pikirannya bu karena narkoba. Sudah nggak inget apa-apa" lanjut mama Ado. Lha aku jadi bingung, katanya tadi anaknya cuma dua, ini kok ada abangnya yang sudah usianya sekitar 30th

"Lho, maaf bu masih bingung kok"

"Oh iya, mama Uma belum tau ya?"

"Maksudnya?" aku masih yang benar-benar nggak tau dan bingung

"Ayah Amar menikah 2 kali dan mama Amar istri muda. Istri tuanya punya 3 orang anak."

"O begitu. Istri tuanya masih hidup apa sudah meninggal?"

"Masih hidup"

"O jadi cerai atau dimadu?"

"Dimadu bu"

"Istri tuanya yang mana bu?" kekepoan saya mulai muncul.

Dalam hatiku agak sensi juga sih pada almarhum  "Emangnya istri pertama kurang cantik apa kok bisa-bisanya madu atau bapak ini kelewat ganteng. Hedewh"

"Kayaknya nggak hadir bu"

"Owh iya lah ya bu, mungkin agak nggak iklas juga kali ya bu diduain"

"Ya pastilah bu"

"Itulah bu, anak pertamanya sampai kena narkoba ya gara-gara itu bapaknya yang kawin lagi. Sama saudaranya sendiri lagi"

"Maksudnya" tanya saya yang makin bingung saja

Saya nggak bisa nyalahin deh dalam hal persoalan rumah tangga. Emang ya kadang-kading cinta itu benar-benar buta dan mengalahkan logika. Nah belum puas keponya saya nanya lagi

"Emang gimana ceritanya bu? Terus apa istri pertama itu jelek atau bagaimana bu sampai dapet perempuan lain?"

Belum juga terjawab pertanyaanku tetiba ada salah satu orang ngomong bahasa Padang ke mama Ado. "Aduh bisa pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar bisa nggak sih, kan aku nggak tau artinya" umpatku dalam hati

"Mama Uma mau sholat?"

"Ya bu mau"

Ah rupanya ibu tadi yang ngomong bahasa Padang ngajakin sholat. Kamipun beriring-iringan masuk ke rumah sebelah yang juga masih rumahnya Amar. Ternyata bapaknya Amar ini mempunyai beberapa ruko yang disewain dan keluarga Amar tinggal di salah satunya.

Kamipun kembali ke tempat duduk yang tadi selepas sholat Isyak

"Hai mama Uma"

"Siapa ya" aku emang bener-bener lupa

"Saya bu Ina, guru Uma waktu SD"

"Oh maaf bu pangling soalnya kok tambah langsing ya. Apa kabar bu?" kataku

"Kabar baik bu, jadi keingetan suamiku waktu meninggal anak-anakku masih kecil bu dan aku berjuang menghidupi anak-anak hingga dewasa" ujar bu Nia sedih

"Semua sudah suratan bu. Allah sebaik-baiknya pengatur umat. Ayah Uma juga meninggal mendadak bu. Tapi kita memang harus iklas menerima apapun putusan Allah"

Pada saat melayat memang kita diingatkan pada kematian dan diingatkan pula pada saat kita ditinggalkan orang-orang tercinta kita. Bi Ina hanya sebentar saja duduk kemudian menemui mama Amar dan pulang, tidak menunggu jenazah datang.

Mama Ado tampak sibuk mengurus ini itu dengan keluarga duka lalu balik duduk tepat di sebelah kursiku.

"Eh sampai mana tadi ceritanya?" tanya mama Ado. Belum sempat saya jawab, dia sudah melanjutkan ceritanya

"Jadi mama Amar dulu itu ngikut kakak sepupu di rumah ini. Anak dari kakak perempuan ibunya. Kalau bahasa Sundanya anak dari uwak, pas lulus SMA. Jadi bantu-bantu gitu. Ya bantuin apa saja. Dari pekerjaan rumah tangga sampai ngurus ruko dan bebrapa toko. Nah sementara kakanya ini sibuklah sendiri arisan sana sini, dandan dan pergi terus setiap hari. Sejak mama Amar ini tingal dirumah ini, kakanya sibuk dengan urusannya sendiri. Karena rajin maka mama Amar di suruhlah kuliah biar tambah pinter katanya dan biar kerjanya tambah bagus. Dan apa coba yang terjadi mama Uma?"

"Kenapa bu?"

"Kakak sepupunya ini namanya Lina"

"Terus?"

"Lina malah tambah asyik sendiri dengan kesibukan sosialitanya. Meninggalkan anak dan lakinya ke mamanya Amar ini. Jadi apa-apa mama Amar. Sampai ke urusan suami yang ngambilin makan, siapin baju, urus anak-anak dan semuanya. Saking kebiasanya setiap hari-hari maka suami Lina ini jatuh hati sama mamanya Amar. Dan hamil"

"Ya Allah. Segitu berimannya mereka. Orang Padang yang sangat taat beribadah ya bu" kataku terheran-heran

"Nah itulah mama Uma. Hidup dan kehidupan" lanjut mama Ado

"Ya Allah bagaimana perasaan mereka ya bu. Masih saudaraan bu?"

"Lina memilih keluar dari rumah bersama anak-anaknya menempati salah satu rumah yang agak jauh dari rumah ini. Sementara lakinya lebih memilih mama Amar. Siapa coba yang disalahkan kalau sudah terlanjur begini?" raut muka mama Ado ikut sedih saat bercerita

"Semoga kita dan anak cucu kita dihindarkan dari cerita seperti ini ya bu. Sangat menyedihkan. Kayak cerita di sinetron saja ya bu"

Sirine ambulance menghentikan pembicaraan kita. Jenazah sudah datang, sudah rapi dikafani dari RS, di baringakan di tempat yang sudah disediakan. Yasinan bersama, didoakan oleh pak ustad kemudian dimasukkan ke keranda. Kutemuni mama Amar dan kupeluk "Turut berduka bu. Saya mama Uma"

"Makasih banyak ya bu"

Semua rasa bercampur aduk, apalagi barusan saya mendengar cerita kehidupan yang berliku yang dialami mama Amar. Duh Gusti, ternyata saya harus banyak bersyukur. Masih banyak teman dekat yang mempunyai masalah yang sangat pelik. Jadi masalah yang saya alami selama ini belum ada apa-apanya.

Hingga jenazah diusung ke arah makam tidak terlihat tanda-tanda kehadiran Lina. Mungkin kebencian yang sangat mendalam pada suaminya. Nggak taulah itu hak nya Lina.

Ibunya Lina dan anak-anak Lina ada hadir sampai jenazah keluar dari rumah untuk dimakamkan. Waktu menunjuukkan pukul 20.30 dan saya pun pamitan pulang ke rumah. Banyak pelajaran yang saya dapatkan malam ini tentang arti kehidupan dan cerita hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun