Sayyid Quthb pernah berkata, "Satu peluru hanya bisa membunuh satu kepala, tetapi satu tulisan bisa menembus ribuan bahkan jutaan kepala". Ungkapan tersebut bermakna bahwa jika peluru timah panas yang ditembakkan akan mengenai badan sedangkan peluru huruf akan mengenai otak dan menyusuk hati. Â Tulisan bukan hanya sebatas rangkaian kata yang menjadi paragrap tanpa makna, tapi lebih dari itu, didalamnya terkandung sebuah pemikiran yang dapat tersebar dengan mudah apalagi di era digital sekarang ini.
Masih ingat Revolusi Mesir? Revolusi negeri Piramida yang terkenal dengan ummud dunya itu terjadi gara-gara hal sepele yaitu status Facebook yang menuntut perubahan.Â
Professor Ilmu Politik Universitas Kairo, Mustapha Kemal Al-Sayyid menegaskan bahwa Revolusi Mesir dipelopori oleh pemuda bernama Wa'el Ghoneim yang mengecam pembunuhan seorang pengusaha Alexandria yang bernama Khaled Said oleh polisi setempat yang ditulis di status Facebook. Status itu kemudian tersebar luas dan dari sanalah pergolakan menentang Mubarak yang dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan.Â
Dengan jejaring sosial Facebook, undangan demonstrasi tersebar luas dengan tujuan pengggulingan Presiden Husni  Mubarak. Akhirnya dari situ terjadi revolusi dan menumbangkan rezim otoriter Husni Mubarak. Dengan demikian tindakan revolusi di Mesir cukup efektif dilakukan melalui internet khususnya jejaring sosial
Masih ingat juga kasus yang menimpa Presiden Amerika, Bill Clinton? Reputasinya hancur pasca kasus perselingkuhan dengan Monica Lewinsky terbongkar oleh wartawan yang bernama Barbara Walters pada tahun 1999.Â
Ini adalah drama besar dalam panggung politik AS manakala  skandal seks mengantarkan seorang presiden dimakzulkan dan akhirnya gagal. Intrik, abuse of power, serta kebohongan berkelindan satu sama lain membentuk sejarah yang tak pernah lenyap dari pikiran masyarakat AS yang diberitakan di media massa. Satu kalimat yang ditembakkan wartawan akan mengenai ribuan bahkan jutaan orang.
Itulah mengapa pers sangat penting. Pers berperan sebagai alat kontrol sebuah negara. Bahkan media digadang-gadang menjadi pilar demokrasi setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. Negara tanpa media akan menjadi negara yang tirani dan tak tersentuh, tanpa alat kontrol. Seperti pada masa orde baru Indonesia, pemerintah berlaku sewenang-wenang membredel dan membunuh media.
Zaman reformasi sekarang ini orang bebas berpendapat asal sesuai aturan dan kode etik. Siapapun juga bisa menjadi wartawan. Bahkan sekarang banyak media yang menyediakan rubrik citizen jurnalism. Siapapun bisa menulis di rubrik ini tanpa terkecuali. Hal ini pun dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999 yang menyebutkan wartawan adalah orang bukan karyawan. (Dasar-dasar Jurnalistik, Ainur Rohim Faqih, SH. Â M.Jum).
Kebebasan berpendapat dan berekspresi seharusnya menjadikan kehidupan lebih baik. Akan tetapi dalam realitanya kini justru sebaliknya. Berbagai masalah mengenai hal ini seringkali bermunculan dan hampir pasti berujung dengan lahirnya keresahan di tengah masyarakat.Â
Permasalahan yang selalu terjadi karena kebebasan berpendapat yaitu adanya oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan hak kebebasan ini untuk menyebarkan informasi-informasi tidak berdasar atau lebih sering disebut hoax yang kemudian tentu menggiring opini publik. Oknum-oknum menyebarkan hoaks bukan tanpa tujuan. Akan selalu ada kepentingan dibalik hoax yang disebarkan ke ranah publik.