Mohon tunggu...
Sri Rejeki
Sri Rejeki Mohon Tunggu... -

Staf Gizi Pemprov Kepri

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pria Paling Tidak bisa Melihat Anaknya Tersakiti

22 Desember 2012   15:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:11 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Malam Minggu yang dingin. Hujan baru saja berhenti. Aku tak bisa memejamkan mata, sedang suami dan anak-anak sudah tertidur pulas menjemput mimpi indah masing-masing. Ingatanku belum bisa hilang dari kejadian kemaren sore. Tetanggaku, sebutlah namanya Mirna (28 tahun) sedang hamil muda, melecut tangan dan kaki anak perempuannya  sebutlah namanya Desy (5 tahun) dengan tangkai rotan bulu ayam pembersih debu.

Gadis sekecil itu menangis histeris tak kuasa menahan sakitnya. Kami yang sedang duduk diberanda rumah "dipaksa" mampir. Kami tarik gadis itu dari pegangan ibunya dan memeluknya. "Anak ini tak tahu diuntung, bandel! Melawan sama orangtua! Teriak Mirna. Aku menenangkannya dan suami menggendong anaknya ke rumah kami bersama anak-anak.  Mirna menangis dipangkuanku. Dia mengeluh, suaminya sudah dua hari belum pulang dari kerja sebagai buruh tambang bauksit. Sedang kondisinya lemah dan muntah-muntah serta sakit perut yang tak tertahankan karena hamil muda.

Setelah Mirna tenang. Aku kembali ke rumah. Desy nampak sudah reda tangisnya. Kulihat tangan dan kakinya penuh dengan bekas lecut ibunya. Luka bidang dan agak bengkak. Kami mengolesinya dengan obat merah. Suamiku kemudian membelikannya desy pecel lele karena kata desy dia belum makan dari pagi, jadi merengek terus minta sama ibunya, tapi ibu marah-marah. Setelah makan, desi kami antar pulang. Desy anak yang tak pendendam. Sampai di rumah, dia cium tangan dan peluk ibunya sambil meminta maap.

Sore tadi suamiku bercerita kalau suami mirna sudah balik pulang malam itu juga. Sampai dirumah ketika melihat anaknya banyak bekas luka lecut rotan langsung Shock dan jatuh demam. Mau marah kepada istrinya, sedang hamil muda pula. Dia hanya bisa curhat kepada suami ku paginya pas sholat subuh di mesjid. Dia cerita kalau badannya masih menggigil setelah melihat tangan dan kaki anaknya pas pulang tadi malam. Siang tadi kondisinya kata suami masih panas dingin dan tak bisa bangun dari tempat tidurnya.

Aku teringat kejadian beberapa tahun silam. Ketika anak saya yang sulung masih balita. Saya sering ngomel sama anak yang tidak tahu apa-apa. Penyebabnya karena rewel dan tak mau tidur atau tak mau makan. Sedang saya sudah capek kerja rumah, mencuci, menstrika, memasak, membersihkan rumah, dan kerja kantor yang bejibun. Walau dibantu suami tetap saja capeknya minta ampun. Maka ketika anak rewel emosi jadi tidak terkendali.

Di suatu malam si sulung susah ditidurkan. Sudah ditimang-timang. Digendong-gendong tidak juga mau tidur. Saya marahi dia. Suamiku hanya terpaku menatap sendu melihat saya marah-marah. Tak lama saya intip dengan sudut mata wajahnya, saya lihat matanya sembab, dan ada butir air mata menggantung di matanya. "Kenapa, pa? Tanya saya heran.

Suami sontak menangis dan berkata. "Ma, papa mohon jangan marahi anak-anak secapek apapun. Kalau mau marah, marahlah kepada papa. Sebab dalam marah sering kata-kata kita tidak terkontrol. Sedang kata-kata itu bisa menjadi doa jika terlontar ke anak-anak. Mama tidak mau kan anak-anak mendapat celaka? Karena kata-kata kita." Kata-kata suami menohok saya.

Benar, saya percaya itu. Saya sering mendapat kisah anak-anak yang celaka karena ulah kata-kata orang tua yang tidak terkontrol kepada anak.  Ada anak yang jatuh dari motor dan patah kakinya, karena sebelumnya ternyata menurut pengakuan ibunya sempat memarahi anaknya mengatakan, "jatuh dan patah kaki engkau, baru kau sadar." Kemudian kisah anak yang berprestasi buruk disekolah, bandel, bahkan sering tinggal kelas, ternyata karena orangtuanya sering mengatakan anaknya "bandel dan bodoh". Atau ada juga kisah anak yang  sakit-sakitan, karena orangtuanya hari-hari mengeluh anaknya kurang gizi dan penyakitan dan banyak lagi contoh lainnya.

Itulah sebab kenapa suami menangis didepan saya. Saya peluk anak saya dan meminta maap karena sudah memarahinya. Ajaib anak saya langsung mengantuk dan tertidur. Setelah kejadian itu hingga kini saya tidak pernah lagi memarahi anak. Jikalau ada yang tidak berkenan atau salah prilaku anak, saya menasehatinya lemah-lembut. Memberinya pengertian dengan contoh yang mudah dicernanya. Alhamdulillah hingga sekarang, anak-anak nampak  patuh dan baik prilakunya.

Begitulah seorang pria. Sejatinya sama seperti Ibu, Pria juga adalah orang yang paling sayang pada anak-anaknya,  walau sering  diluar dia harus tampak tegas pada anak-anak.  Jangan coba-coba memarahi anak didepannya, kebanyakan pasti kita yang kena amuknya. Ya, Pria paling tidak bisa melihat anaknya tersakiti.

(Di hari ibu ini saya ingin mengucapkan : Trims papa atas semuanya. Love u too...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun