Mengapa Donald Trump tidak memasukkan Indonesia dalam daftar tujuh negara dengan mayoritas muslim yang dilarang masuk ke Amerika Serikat? Tidakkah Presiden Amerika Serikat ke-45 itu lupa bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia juga “medan” pengeboman dan unjuk gigi jaringan terorisme internasional?
Tidak. Tentu saja Trump tidak lupa. Namun, inilah paradoksnya. Ketika kita sedang menghadapi gelombang sentimen perbedaan agama dalam suasana Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017, Trump justru membolehkan warga negara Indonesia masuk ke negaranya. Ini berarti, orang seperti Trump yang dianggap sebagai “agen” Islamophobia tidak melihat Indonesia sebagaimana dia melihat Suriah, Irak, atau Iran. Atau, dengan kata lain, Trump pada dasarnya mengakui Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan resmi Indonesia.
Meski demikian, hanya karena Indonesia tidak termasuk dalam tujuh negara yang dilarang Trump masuk ke negerinya, bukan berarti kita mendukung kebijakannya itu. Paradoks yang lain muncul lagi, bahwa kita harus menggunakan paradigma kebhinekaan kita untuk melihat kebijakan Trump yang dianggap memancing sentimen perbedaan agama.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, menyebut Islamophobia yang ditunjukkan Trump melalui kebijakan larangan masuk ke Amerika terhadap tujuh negara muslim justru membesarkan organisasi radikal seperti ISIS. Guterres menganggap kebijakan Trump sama sekali tidak menghentikan pergerakan ISIS, melainkan menyuburkannya. “Salah satu hal yang menjadi bahan bakar terorisme adalah mengekspresikan perasaan Islamophobia, kebijakan Islamophobia, dan ujaran kebencian Islamophobia,” kata Guterres dalam kunjungannya ke Istana Raja Salman di Arab Saudi, Minggu, 12 Februari lalu.
Islamophobia, secara khusus istilah ini berkembang pesat setelah insiden World Trade Center pada 11 September 2001. Presiden Amerika Serikat kala itu, George Walker Bush, mengirim pasukan ke Afghanistan dan Irak sebagai wujud “kecemasan dan kebencian” terhadap negara dengan mayoritas Islam yang pada akhirnya menjadi kecemasan dan kebencian terhadap Islam sebagai agama.
Pada tahun 2002, Islamophobia yang aneh muncul di Indonesia dalam insiden Bom Bali I. Meski sasarannya adalah warga negara Barat, namun karena wacana Islamophobia itu muncul di Indonesia, dengan sendirinya memunculkan wacana tandingan yang dikenal dengan Christianophobia, yakni kebencian yang melewati batas dan kekhawatiran kemungkinan pengambilan kekuasaan oleh orang-orang beragama Nasrani.
Lalu, kita mulai mendengar sejumlah orang menuntut penutupan gereja. Dalam situasi ini, wacana Islam versus Kristen yang berkembang sebagai wacana politik internasional dengan Amerika Serikat sebagai pemain utamanya, menular dalam kehidupan sehari-hari kita. Anehnya, orang-orang yang hidup dalam konflik Islam-Kristen di Indonesia justru orang-orang yang sama-sama berkulit coklat. Secara ras, mereka berasal dari puak yang sama, terlepas apapun agamanya.
Terkadang, persoalan ini tampaknya jauh lebih besar ketimbang niat dan kemampuan kita secara individu untuk mengatasinya. Di titik ini, kita perlu menggantungkan harapan kepada lembaga negara untuk “memaksa” masyarakat mewujudkan cita-cita sebagai negara yang menerima perbedaan sebagaimana yang sudah dicatatkan oleh para pendiri bangsa di dalam konstitusi.
Jika Anda datang ke Dewan Perwakilan Rakyat dan menyaksikan salah satu rapat di sana, Anda akan melihat bukti keberagaman itu. Apapun partai atau pandangan politiknya, para anggota parlemen itu berasal dari berbagai suku dan agama yang tersebar di Indonesia. Bagaimana bisa konflik atas nama agama dan suku masih terjadi sementara orang-orang yang beragam itu berkumpul di gedung parlemen?
Sudah sejak lama, terutama setelah Indonesia merdeka, negara-negara Barat memprediksi Indonesia akan menjadi kekuatan besar di Timur Jauh. Pandangan itu tetap tidak berubah hingga kini. Hanya saja, mereka menyebut keberagaman suku dan agama juga sebaran geografis dengan pulau-pulau menjadi tantangan terberat untuk mewujudkan kebesaran Indonesia.
Kita beruntung memiliki warisan kebijaksanaan yang belum ada bandingannya hingga kini ketika para pendiri bangsa merumuskan ideologi negara ini. Andaikan tak ada kebijaksanaan itu, maka bisa jadi tak ada Indonesia saaat ini. Atau, bisa saja Indonesia terpecah di masa-masa awal kemerdekaan karena pengakuan rakyat terhadap negara adalah juga pengakuan negara terhadap seluruh elemen rakyatnya.