Ada banyak frase yang menggunakan kata “anti” jika kita hidup dan tumbuh di Indonesia. Anti-komunis, anti-Kristen, dan anti-Cina, adalah sejumlah anti yang tak bisa kita tolak dan telah tergurat dalam sejarah kita. Namun, persoalan menjadi semakin berbeda ketika cara berpikir “anti” tersebut tidak lagi terlokalisir pada ruang dan waktu tertentu. Dan internet adalah kenyataan yang menghancurkan sifat spasial-temporal itu.
Misalnya, dulu, ketika orang mendengar kata anti-komunis, maka pikirannya akan terbawa pada suatu tempat di mana sejarah menyebutkan masa PKI sebelum dibasmi oleh Orde Baru pada pertengahan 1960-an. Anti-Kristen, misalnya, menyesak dalam pengetahuan kita pada penutupan sejumlah gereja di beberapa tempat. Sementara anti-Cina, mengembalikan kita pada peristiwa 1998 yang berakar pada pembantaian etnis kulit kuning itu sejak abad-abad lalu.
Internet telah membawa pengetahuan tentang anti-anti tersebut tidak pada ruang dan waktu tertentu. Anti-Cina, anti-Kristen, dan anti-komunis, kini hadir di hadapan kita melalui layar gadget dan komputer. Betapa cepatnya cara berpikir anti-anti ini menjadi fenomena seluruh negeri. Lalu kita mengenal kata hoax (berita palsu) yang hanya kita sadari secara akrab sebagai bagian dari budaya internet. Dan, hoaxbelakangan dianggap sebagai salah satu biang yang membangkitkan sikap anti-anti tersebut dari ruang-waktu masa lalu menjadi soal yang seakan-akan tak mungkin kita singkirkan.
Pada 6 Januari 2017, situs majalah Time menggambarkan keadaan itu dengan cara seperti ini: Penyebaran kabar bohong di sosial media telah menyumbangkan ketegangan politik di banyak negara – salah satunya adalah semakin banyaknya keterlibatan media sosial ketimbang berita sebenarnya selama pemilihan Presiden Amerika Serikat pada November (2016) – tapi di Indonesia, dengan beberapa insiden terorisme, dan sejarah panjang juga berdarah anti-komunis, anti-Kristen, dan pembantaian anti-Cina, ketegangan etnis dan politik “berpotensi mematikan.”
Berpotensi mematikan? Tidak berlebihan, tetapi bukan berarti tak bisa dilunakkan. Terlebih dahulu kita harus mengingat bahwa apa yang kita hadapi adalah teks. Hoax muncul dalam bentuk tulisan, gambar, juga video. Tetapi, semua itu adalah teks. Ada yang off-sidedalam budaya internet kita bahwa internet selalu mengandalkan kecepatan. Benar bahwa internet telah memangkas deadlineyang dulu menjadi iman dalam dunia informasi. Namun, di Indonesia, orang membaca teks di internet dalam suasana keserba-cepatan itu.
Akibatnya adalah kita tidak pernah benar-benar membaca. Ditambah lagi, kita membaca yang serba-cepat itu dalam negara yang terus-menerus dianggap memiliki minat baca dan literasi yang rendah.
“Kita termasuk lima besar pengguna smartphonedi dunia. Tetapi tingkat literasinya kedua terbawah setelah Botswana di Afrika,” kata Ketua Masyarakat Anti-Hoax, Septiaji Eko Nugroho, mengacu pada riset World Most Literate Nation pada pertengahan 2016 yang menyebut minat baca Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara.
Idealnya, jika kita masih berharap dan percaya pada yang ideal, adalah kita hidup dengan minat baca dan literasi yang tertinggi di dunia. Membaca buku, sebagai bagian dari budaya purba di hadapan internet yang cepat dan dangkal, adalah kultur yang penting agar tak digelap-matakan oleh hoax.
Tapi, jelas tak mudah membuat orang menganggap membaca buku bukan lagi sebuah aksi intelektual melainkan kegiatan sehari-hari sebagaimana orang menonton televisi. Ya, jelas tidak mudah.
Tetapi ketidakmudahan itu bukanlah permakluman bagi kita untuk bisa cerdas menghadapi gelombang dunia maya yang semakin lama kita rasakan bisa mematikannya. Bukankah kitab suci seperti Al Quran memulai wahyunya dengan kata “Iqra” atau “Bacalah!”
Kini kita harus kembali membaca, bukan melihat. Dengan membaca, kita punya kesadaran untuk melakukan verifikasi dan menguji kebenaran terhadap apapun yang disajikan internet ke hadapan kita. Niscaya, kita bisa mengambil posisi sebagai anti dari segala anti-anti yang lebih suka melihat kita terpecah-belah.