Salah satu informasi yang banyak mendapatkan perhatian publik belakangan ini adalah kemenangan Taliban. Publik pun merespon pro dan kontra. Begitu juga di Indonesia. Euforia, simpati dan dukungan masyarakat sangat luar biasa. Apalagi kelompok-kelompok radikal menebar narasi heroisme atas kemenangan Taliban. Tidak jauh berbeda ketika ISIS berhasil menguasai Suriah ketika itu. Kelompok pengusung khilafah langsung muncul ke publik, menebar propaganda yang menyesatkan, sampai akhirnya banyak WNI yang memutuskan bergabung dengan kelompok ISIS. Setelah bergabung mereka baru sadar, bahwa semuanya itu ilusi belaka.
Simpati terhadap Taliban tidak salah. Namun masyarakat juga harus jeli dan cerdas dalam memahami sebuah peristiwa, dan terus meningkatkan daya tangkal dari ideologi transnasional. Kenapa hal ini penting? Karena kelompok ini seringkali mendompleng sebuah isu atau peristiwa, untuk menyusupkan ideologi-ideologi transnasional untuk disebarluaskan ke masyarakat. Terlebih mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, yang juga dianut oleh kelompok Taliban.
Disinilah pentingnya memperkuat literasi. Indonesia kaya akan adat istiadat dan kearifan lokal yang bisa kita jadikan acuan. Tak usah lagi melihat ideologi-ideologi luar, yang belum tentu tepat diterapkan di Indonesia. Pendiri bangsa ini sudah jelas menegaskan, bahwa Indonesia adalah negara beragama dan bukan negara agama. Karena itulah, sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bisa masuk dan diterima oleh semua agama yang ada di Indonesia.
Di era yang serba digital ini, tentu kita harus terus meningkatkan kewaspadaan. Karena banyak sekali aktifitas digital, yang mulai disusupi oleh pesan-pesan radikal. Dan kelompok radikal, seringkali mendompleng setiap peristiwa untuk menebarkan propaganda radikalisme. Termasuk sentimen kemenangan Taliban di Afganistan, yang selalu menyuarakan kemenangan Islam. Karena Indonesia mayoritas beragama Islam, diarahkan seolah-olah kemenangan tersebut juga merupakan kemenangan masyarkat Islam.
Mari kita belajar sejarah. Mari kita bedakan mana urusan agama, mana urusan politik. Di awal sudah disebutkan terkait ISIS. Banyak yang menyatakan bahwa kemenangan ISIS ketika itu merupakan kemenangan Islam. Tatanan pemerintahan yang dibangun akan mengedepankan kesejahteraan, dan sebagainya. Mereka pun membangun opini yang menyesatkan, agar banyak masyarakat berbondong-bondong bergabung dengan ISIS. Dan salah satu yang ikut bergabung ketika itu adalah masyarakat Indonesia.
Begitu juga dengan kemenangan Taliban. Janganlah dihubungkan dengan kepentingan ini atau itu. Taliban berbeda dengan Indonesia. Kenapa kita perlu waspada? Karena kelompok radikal menjadikan momentum ini untuk menyuarakan konsep khilafah, yang jelas tidak tepat diterapkan di Indonesia. Untuk itulah, kita tidak boleh diam saja ketika mereka terus menebar provokasi di media sosial. Kita harus memberikan informasi yang menyejukkan, informasi yang menyatukan, dan yang bisa memberikan semangat untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Dengan kembali ke nilai-nilai kearifan lokal, akan bisa menyelematkan kita dari segala pengaruh ideologi transnasional. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H