Hari ini seluruh umat muslim di dunia memperingati Isra Mi'raj. Peristiwa ini menjadi sebuah peristiwa yang saklar, meskipun secara nalar sangat tidak masuk akal. Namun peristiwa ini adalah mukjizat yang diberikan Allah SWT. Ketika itu, Nabi Muhammad menjalani sebuah perjalanan spiritual dari majidil Haram di Mekah, lalu ke majidil Aqsha di Palestina, dan naik ke Sidratul Muntaha di langit ke tujuh. Dan perjalanan tersebut hanya dilakukan dalam waktu semalam saja, dengan kendaraan buroq. Jika dipikir secara nalar, mungkin semua orang tidak percaya. Tapi ini adalah atas kehendak Allah dan dijelaskan juga di dalam Al Quran.
Nalar manusia memang tidak sampai untuk memikirkan peristiwa tersebut secara sederhana. Terlebih perintah shalat pun muncul ketika perjalanan tersebut. Dan kini, semua umat muslim di seluruh dunia, menjalankan ibadah wajib shalat fardhu. Berbicara keyakinan, terkadang memang tidak bisa dijangkau oleh nalar. Namun berbicara tentang kenyataan, nalar harus tetap dipakai.
Dalam konteks saat ini, menjaga nalar atar tetap terjaga sangat penting sekali. Nalar manusia memang ada batasnya. Namun Tuhan memberikan manusia akal dan logika, agar bisa mencerna apakah informasi tersebut benar atau tidak. Dalam konteks Isra Mi'raj kita wajib mempercayainya, karena hasil dari perjalanan tersebut menghasilkan perintah yang nyata adanya. Seluruh umat muslim percaya akan perjalanan tersebut, dan menjalankan perintah shalat. Namun untuk informasi yang sifatnya menyesatkan, hoaks, hate speech dan provokasi, kita tidak boleh langsung percaya. Disinilah membangun kesehatan nalar sangat diperlukan.
Membangun kesehatan nalar di era masifnya penyebaran hoaks dan kebencian sangat diperlukan, agar kita tidak terjerumus ke dalam lembah ketidakpastian. Mari kita lihat contoh yang sederhana. Saat ini kelompok radikal seringkali memunculkan sentimen keagamaan di media sosial, setelah mereduksi atau membelokkan artinya. Kata jihad misalnya, yang sering jadi pembahasan. Ada yang memaknai jihad sebagai tindakan yang heroik untuk membawa nilai-nilai agama. Bagi siapa yang bisa melakukan, imbalannya adalah surga. Aktifitas bom bunuh diri pun seringkali dimaknai sebagi jihad. Dan yang terjadi, tidak sedikit anak muda yang memilih menjadi anggota teroris, untuk melakukan peledakan diri agar masuk surga. Pemahaman ini jelas salah, dan tidak perlu diikuti.
Jika kita mempunyai kesehatan nalar, semestinya tidak akan ikut terpengaruh. Peristiwa Isra Mi'raj hanya Nabi Muhammad yang bisa melakukannya. Tidak ada satupun manusia di bumi yang bisa melakukan. Jika jihad dengan cara melakukan tindakan intoleran dimaknai sebagai upaya menegakkan jalan Tuhan, faktanya hal tersebut merugikan semua orang. Tidak hanya membuat masyarakat tak berdosa meninggal, peristiwa tersebut juga melahirkan kerusakan di tengah masyarakat. Apakah jihad harus dilakukan dengan cara membunuh?
Mari kita cerna dengan obyektif dan melihat berdasarkan konteksnya. Lalu, bagaimana dengan konteks jihad di masa kemerdekaan? Hal tersebut berbeda lagi. Karena penjajahan bagian dari merenggut kemerdekaan. Sementara setiap manusia itu sejatinya harus hidup merdeka. Dan penjajahan tersebut juga telah melahirkan ketidakadilan, banyak masyarakat harus dibunuh, dan dampak negatif lainnya. Lalu, dalam konteks sekarang, tentu jihad tidak perlu dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Karena esensi jihad adalah perang mengendalikan hawa nafsu. Mari jaga nalar kita, jangan mudah terprovokasi oleh informasi-informasi yang menyesatkan. Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H