Belakangan, polemik revisi UU ITE kembali mencuat. Menurut survei The Economist Intellegence Unit (IEU) menyatakan indeks kebebasan Indonesia berada di skor paling rendah sejak 14 tahun terakhir. Dari sinilah kemudian muncul wacana revisi UU ITE, karena banyak yang tidak berani mengkritik, tidak berani berargumentasi, tidak berani berekspresi di media sosial karena takut melanggar UU ITE. Adanya pasar karet yang multi tafsir menjadi perbincangan khalayak ramai.
Presiden Joko Widodo beberapa saat yang lalu mengatakan pemerintah butuh kritik. Sementara mantan wapres Jusuf Kalla mengatakan bagaimana caranya mengkritik tanpa harus masuk bui. Masyarakat sipil juga banyak berkomentar ini dan itu. Mari saling berdebat yang bisa menghasilkan solusi. Silahkan UU ITE di revisi jika memang bisa memberikan kepastian hukum dan kenyamanan masyarakat mengatakan pendapat, tanpa harus takut berhadapan dengan hukum.
Ada atau tidak revisi, satu hal yang perlu diingat adalah untuk berekspresi dan berpendapat di area public termasuk di media sosial harus ada etika. Nenek moyang kita telah memberikan nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan hingga saat ini. Sopan santun, saling menghormati dan menghargai harus tetap diimplementasikan dalam setiap ucapan dan tindakan. Kebebasan pendapat di media sosial, juga harus menerapkan hal tersebut. Betul negara menjamin kebebasan berpendapat, namun semua tersebut tetap harus ada etikanya, tidak boleh asal.
Mari kita lihat kebelakang. Jika kita melihat yang terjadi beberapa tahun belakang ini, tentu membuat miris. Banyak sekali masyarakat saling mencari kejelekan, hanya karena dia rival politik. Banyak orang yang menghujat, mencaci maki, hanya karena berbeda keyakinan atau pandangan. Dan tidak sedikit dari masyarkat yang merasa dirugikan, melaporkan cacian atau makin tersebut karena dianggap mencemarkan nama baik. Akibatnya, tidak sedikit dari masyarakat yang ditetapkan tersangka.
Contoh diatas tentunya bisa kita jadikan pembelajaran. Lalu, ada yang mengatakan, UU ITE hanya tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Untuk para tokoh publik, hukum seakan tidak bisa menyentuhnya. Namun bagi masyarakat bawah, hukum begitu tajam menyentuhnya. Hal semacam inilah yang mungkin harus direvisi. Namun bagaimana kita berperilaku di media sosial tetap harus beretika.
Media sosial semestinya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih positif, dibandingkan digunakan untuk menyebar hoaks, provokasi dan ujaran kebencian. Media sosial bisa menjadi media pemersatu, yang bisa saling menguatkan antar sesama, jika bisa diarahkan untuk pentingan yang lebih baik. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Ingat, media sosial bukanlah tempatnya kelompok tertentu saja. Tidak hanya kalangan remaja, medsos juga digunakan oleh semua lembaga, kementerian atau pun pemerintah. Karena demokrasi di era digital ini memang lebih dinamis dan berwarna. Produktifitas publik dalam menyampaikan pendapat di media sosial pun turut meningkat tajam.
UU ITE lahir untuk merespon kemajuan dunia digital yang begitu pesat. Memang hadirnya sebuah UU tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik. UU ini pada dasarnya untuk mengatur agar segala aktifitas yang dilakukan di dunia maya bisa diatur, agar tidak merugikan orang lain. Awalnya, UU ini ditujukan untuk mencegah kejahatan digital. Namun dalam perkembangannya, UU ini banyak digunakan untuk mempidanakan perilaku penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media digital. Hal inilah yang membuat UU ini seolah sebagai ancaman kebebasan berpendapat dan berdemokrasi. Akibatnya, saling lapor dengan dalih pencemaran nama baik.
Mari kita sudahi praktik saling membenci di media sosial. Ingat, kita semua adalah saudara. Kita semua adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan tidak bisa hidup sendiri. Karena itulah, mari kita tetap kedepankan rasa saling menghargai dan menghormati. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H