Mohon tunggu...
sri nuraini
sri nuraini Mohon Tunggu... Hoteliers - swasta

seorang yang gemar snorkeling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita dan Fakta Terdistorsi

29 Maret 2019   16:40 Diperbarui: 29 Maret 2019   16:47 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah fake news atau berita bohong , dan selanjutnya adalah hoaks atau berita palsu menjadi masalah yang cukup krusial akhir-akhir ini. Terutama yang sedang mengalami pesta demokrasi alias pemilu. Karena kampanye dan segala upaya mempengaruhi seringkali melibatkan masyarakat dan dampaknya amat parah.

Propaganda yang disebarkan oleh para kandidat calon pemimpin itu biasanya untuk melemahkan kekuatan lawan. Strategi itu sudah lama dipakai oleh para tim sukses untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Ini juga terjadi pada beberapa informasi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat  dan amat penting misalnya informasi soal kesehatan, bencana alam dll.

Dalam menyebarkan propaganda dan informasi tersebut tak jarang terjadi distorsi fakta yang menyebabkan sebuah narasi propaganda agak berbeda atau berbeda sekali dengan faktanya. Beberapa terkesan malah memutar balikkan fakta. Menurut penelitian BBC, ditorsi fakta ini sudah ada sejak tahun 1930-an.  Makin lama, kejadian serupa itu makin lama makin sering.

Hanya saja yang terjadi saat ini adalah peluang sebuah fakta mengaami distorsi amat besar kemungkinannya dibanding masa lalu. Jika masa lalu distorsi fakta dilakukan oleh pemerintah dan organisasi tertentu melalui media mainstream seperti koran, radio dan televise. Mungkin diantara kita masing ingat bagaimana pemerintah Indonesia menyiarkan propaganda melawan Belanda yang membonceng sekutu untuk merebut Indoensia setelah Jepang kalah terhadap sekutu dengan dibomnya Hiroshima dan Nagasaki.

Cukup benderang tertulis di sejarah bahwa bung tomo berusaha melecut semangat kaum muda di sekitar Surabaya dan Jawa Timur untuk melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Propaganda berbentuk orasi dengan pidato berapi-api itu disiarkan secara luas oleh Radio Republik Indoensia. Dampaknya cukup besar yaitu para pemuda khususnya pemuda Surabaya mati-matian melawan Belanda. Mereka melawan meski kekuatan teknis tidak seimbang. Namun semangatlah yang bisa mengalahkan musuh.

Dari gambaran di atas kita bisa melihat propaganda zaman dahulu biasa memakai radia. Atau media cetak. Jadi koran-koran menulis di headline apa yang diagendakan sang pemberi pesan. Semisal Pemerintah ingin menumpas PKI (saat itu). Sehingga jika media mainstream melakukan distorsi (penyimpangan) informasi, cukup mudah dideteksi.

Hal ini berbeda dengan masa kini dimana sekarang seseorang bisa memproduksi sebuah berita secara mandiri dan menyebarkannya dengan mandiri pula. Mungkin dua orang di Bogor dan Balikpapan serta seorang wasekjen sebuah partai dilaporkan polisi karena terkait berita tujuh container surat suara tercoblos 01 di pelabuhan Tanjung Priuk. Berita itu menjadi viral , meresahkan masyarakt selama beberapa hari padahal seluruh berita tersebut adalah hoaks.

Melihat perkembangan informasi dan distrosi fakta yang sangat parah terjadi di masyarakat, maka memang harus dilakukan langkah-langkah massif agar bisa meminimalisir hoaks. Salah satunya adalah upaya untuk mengenali fakta dengan menelusuri sumber fakta dan membandingkannya. Upaya-upaya verifikasi penting dilakukan oleh setiap individu sebelum menyebarkannya kepada masyarakat.  Ini terkait dengan literasi media digital yang memang harus diupgrade oleh setiap anggota masyarakat demi memperoleh informasi yang benar.

Kini Kominfo sudah membuka layanan aduan konten yang terbuka bagi publik yang ingin melaporkan  konten-konten yang mengalami distorsi parah, semacam hoax dan lain sebagainya. Sejak dibukannya sampai sekarang aduan konten ini menerima ribuah bahkan jutaan aduan konten yang memang tidak semuanya diproses, tapi paling tidak ini adalah upaya untuk meningkatkn kesadaran masyarakat soal konten hoaks atau terdistorsi parah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun