Kita tahu bersama bahwa generasi muda merupakan harapan bangsa. Dari sekian pemuda, mahasiswa dipandang adalah basis ketahanan bangsa. Karena mereka punya kelengkapan yang cukup semisal ilmu dan strategi untuk membawa bangsa pada kemajuan pada era depan.
Kecakapan yang dianggap penting selain ilmu dan strategi adalah moral, ideology dan kemampuan berdialektika. Berfikir dialektis ini bisa pada bidang sosial atau politik. Biasanya pada saat mahasiswalah kemampuan soal ini berkembang pesat dan butuh wadah untuk mengembangkannya.
Namun apa yang terjadi jika 'wadah' itu tak ada dan kemudian para pemuda kita itu 'dikotori' oleh hal-hal yang merusak potensi mereka. Hal yang bisa mengotori itu tidak hanya pada kemalasan dan narkoba. Tetapi juga ideologi-ideologi yang tidak selaras dengan dasar Negara. Ideologi itu semisal radikalisme yang masuk  tidak saja pada tataran terbuka. Tapi juga tertutup. Jadi penyebarannya terbuka dan tertutup. Penyebaran yang tertutup ini semisal proses penyebaran radikal di kampus-kampus.
Mereka menyebar melalui pengajian-pengajian kampus. Mereka kerap mengundang penceramah-penceramah beraliran radikal untuk mengisi kajian-kajian agama di kampus-kampus. Pengajian mahasiswa, majelis taklim dan diskusi keagamaan menjadi wahana tempat berbiaknya radikalisme. Karena disitulah paham radikal ditanam dan tumbuh subur.
Hal yang membuat ini mewabah karena larangan berpolitik di kampus. Aturan yang mengatur hal ini adalah NKK/BKK yang diterapkan sejak tahun 1978 untuk membungkam idealisme mahasiswa berpolitik pada zaman Orde Baru. Dengan aturan itu mahasiswa diharpkan hanya focus dengan kegiatan akademiknya saja. Organisasi mahasiswa yang berorientasi politik semisal HMI, PMII, GMKI atau PMKRI. Organisasi itu secara resmi dilarang berkembang di kampus.
Padahal sebagai basis ketahanan bangsa, intelektual saja tidak cukup. Karena hasus dilengkapi dengan aspek morak dan ideology yang sesuai dengan arah bangsa. Dengan mengebiri mahasiswa untuk berdialektika politik, maka dia tetap punya cara untuk memenuhi kebutuhannya itu. Di titik itulah radikalisme menjadi tumbuh subur di Negara kita selama nyaris 30 tahun ini.
Kita kita (dan pemerintah) tersadar, ideologi susupan yang bernama radikalisme itu menjadi tumbuh subur. Seperti pohon beringin yang subur dan rimbun. Kita dapati kini banyak mahasiswa yang bersikap intoleran terhadap perbedaan. Perbedaan dianggap menjadi hal pengganggu dalam berbangsa dan bertanah air.
Padahal ini jelas-jelas salah karena Indonesia berdiri atas dasar berbedaan. Sekitar 14 ribu pulau Indonesia punya beraneka ragam budaya, adat istiadat dan beraneka keyakinan. Bahkan penyembahan kepada Tuhan juga tidak terbatas pada lima atau enam agama saja. Karena ada aliran-aliran kepercayaan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Inilah yang membuat kita punya dasar Pancasila yang menghimpun semua perbedaan Indonesia.
Sehingga perkembangan yang terkait perkembangan ideologi radikal dikalangan mahasiswa memang harus dihentikan. Caranya adalah mengembalikan kondisi kampus menjadi kampus yang adaptif dengan kebutuhan mahasiswa, yaitu berpolitik. Dengan membuka diri terhadap dialektika kampus, diharapkan mahasiswa bisa berproses dengan lebih baik.
Karena itulah, pemerintah melakukan revisi atas kebijakan NKK/BKK yang pernah diberlakukan di kampus-kampus dengan Permenristekdikti no 55 tahun 2018. Dengan peraturan baru ini diharapkan dapat menampung passion mahasiswa terhadap politik. Dengan perpolitik dan berdialektika dengan benar kita bisa membawa bangsa ini pada kondisi yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H