Sejarah membuktikan bahwa karena peran Kartini ketika itu, para perempuan Indonesia bisa sejajar dengan laki-laki. Budaya patriarki yang begitu kuat berhasil dikalahkan. Perempuan akhirnya mendapat posisi yang setara dengan laki-laki.
Karena peran Kartini pula, emansipasi wanita kemudian mendapat tempat di berbagai tempat. Hal ini membuktikan, peran seorang perempuan atau ibu, sangat kuat dalam mendidik anak, orang lain ataupun membuat hal yang bermanfaat bagi lingkungan.
Upaya maksimal seorang ibu, pasti akan menghasilkan sesuatu yang maksimal pula. Apalagi upaya maksimal itu disertai dengan doa, akan mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, akan menghasilkan fondasi yang kuat bagi anak ketika remaja. Wejangan seorang ibu, juga akan selalu diingat sang anak hingga dewasa nanti.
Di era milenial seperti sekarang ini, peran seorang ibu juga sangat harapkan. Bahkan porsinya harus terus ditingkatkan. Karena kemajuan teknologi telah berhasil membuat anak lupa segalanya. Perkembangan media sosial bisa membuat anak abai dengan sekitarnya.
Ketika anak abai dengan sekitarnya dan menemukan dunia baru di sosial media, dia akan rawan menyerap informasi yang menyesatkan. Seperti kita tahu, kemajuan dan keunggulan media sosial saat ini, seringkali dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk mewujudkan keinginan buruknya.
Kelompok intoleran dan radikal, seringkal melakukan propaganda radikalisme di dunia maya. Mereka terus menebarkan bibit kebencian kepada kalangan muda. Karena anak muda yang masih dalam proses pencarian jati diri, akan mudah diarahkan jika memang tidak mempunya fondasi yang kuat.
Anak muda akan mudah diarahkan, jika mereka memilih menjadi pribadi yang pasif. Anak muda semacam inilah yang seringkali dijadikan korban. Terbukti, hampir rata-rata pelaku aksi terorisme berusia muda. Hampir rata-rata yang hijrah ke Suriah dan menjadi anggota ISIS, juga didominasi anak muda.
Ketika memasuki tahun politik, pola itu mulai mengalami pergeseran. Provokasi mulai diarahkan untuk urusan politik. Ujaran kebencian banyak ditujukan kepada pasangan calon yang maju dalam pilkada. Ujaran kebencian juga seringkali ditujukan kepada tokoh-tokoh yang akan maju dalam pilpres 2019.
Kebencian ini sengaja dimunculkan untuk mempengaruhi para anak muda. Kenapa anak muda? Karena mayoritas pemilih dalam pilkada serentak dan pilpres 2019 mendatang, didominasi oleh anak muda. Wajar kiranya muncul organisasi seperti Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA), untuk menebar kebencian dikalangan muda. Selain menurunkan elektabilitas, kebencian yang disebarkan ini juga untuk mengganggu pemerintahan. Pemerintah dianggap tidak mampu menjaga stabilitas sosial masyarakat.
Untuk itulah, peran keluarga khususnya ibu sangat penting disini. Keluarga sebagai pusat pendidikan anak sebelum mengenyam pendidikan di sekolah. Melalui pendidikan di keluarga pula, juga bisa menjadi fondasi untuk menguatkan budaya literasi bagi anak.Â
Anak harus menggunakan smartphone yang dia miliki untuk tujuan yang lebih baik. Anak harus mau melakukan cek ricek, untuk memastikan kebenaran informasi yang mereka dapat. Dan jika hal ini bisa dilakukan oleh mayoritas anak dan remaja Indonesia, maka negeri ini tidak hanya akan terbebas dari ujaran kebencian, tapi juga terbebas dari bibit radikalisme di berbagai sektor.