Keberagaman di Indonesia menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Keberagaman sudah menjadi identitas tak terpisahkan bagi Indonesia. Ditinjau dari sisi manapun, Indonesia penuh dengan keberagaman. Mulai dari agama, bahasa, budaya, hingga adat istiadatnya pun saling berbeda antar daerah. Meski demikian, dalam keberagaman itu ada kesamaan tekad, untuk tetap bergotong royong, bertoleransi, saling tolong menolong antar sesama dalam semangat negara kesatuan republik Indonesia.
Menjadi tugas kita bersama untuk tetap menjaga keberagaman ini agar tetap lestari. Biarlah keberagaman yang melekat di masing-masing suku ini tetap terjaga. Biarlah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu, tetap menjadi kepercayaan masyarakat Indonesia. Biarlah mereka memilih keyakinan yang mereka yakini. Biarlah pula mereka beribadah menurut agama dan keyakinannya. Jangan ada paksaan, ataupun tekanan kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Itulah esensi dari toleransi antar umat beragama. Dan salah satu pihak yang harus tetap menjaga esensi itu adalah media massa.
Media massa harus terus mengobarkan jurnalisme damai dalam setiap pemberitaannya. Jurnalisme damai tidak hanya sebatas memberitakan informasi ke masyarakat, tapi juga harus bisa menyejukkan, tidak ada kepentingan, dan bisa merangkul siapa saja. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa pemilik media di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Meski demikian bukan berarti jurnalisme damai tidak bisa disebarluaskan. Perkembangan media sosial, yang saat ini sangat digemari oleh generasi milenial, juga harus aktif menjadi penyebar perdamaian. Mari kita tanamkan pada diri masing-masing, untuk menjadikan media sosial sebagai media yang mempunyai fungsi informasi, kontrol sosial, hiburan sekaligus mendidik. Bagaimana caranya? Melalui segala bentuk yang kita share di media sosial, harus bisa mewakili semangat informasi, kontrol sosial, hiburan dan pendidikan.
Kenapa jurnalisme damai diperlukan? Saat ini memasuki tahun politik. 171 daerah akan menentukan siapa pemimpinnya melalui ajang pemilihan kepala daerah. Pada umumnya, berbagai cara akan dilakukan untuk memenangkan kontestasi politik ini. Lihat saja, ujaran kebencian mulai masif terjadi. Antar pendukung mulai memunculkan informasi-informasi yang tidak perlu. Kejelekan pasangan calon mulai sering dimunculkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Hal ini pun bisa mempengaruhi masyarakat, yang tidak dilandasi informasi yang tepat. Bagi masyarakat yang tidak mau melakukan literasi media, maka mereka akan mudah terprovokasi oleh informasi yang menyesatkan di media sosial. Apalagi jika informasi tersebut disertai sentimen SARA, akan mudah sekali memprovokasi pihak lain.
Provokasi SARA memang seharusnya tidak terjadi lagi di Indonesia. Hanya orang yang tidak pernah memikirkan Indonesia, yang mau menghancurkan lingkungannya dengan provokasi SARA. Justru yang diperlukan saat ini adalah provokasi damai yang harus disuarakan oleh semua pihak. Hilangkan provokasi SARA dan gantilah dengan provokasi damai. Dan salah satu yang mungkin dilakukan adalah, dengan menerapkan penulisan jurnalisme damai dalam setiap tulisan yang kita posting. Tentu saja, harus tetap mengedepankan semangat toleransi dan keberagaman. Karena keberagaman itulah yang menjadi esensi bhineka tunggal ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H