Mohon tunggu...
sri nuraini
sri nuraini Mohon Tunggu... Hoteliers - swasta

seorang yang gemar snorkeling

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Zaman Ahok Sama dengan Zaman Orde Baru

24 Agustus 2015   16:32 Diperbarui: 24 Agustus 2015   17:48 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini pertikaian Gubernur Jakarta Basuki Cahaya Purnama alias Ahok dan warga kampung pulo Jakarta. Pertikaian itu menimbulkan bentrokan dan ketegangan antara warga dengan aparat yang diturunkan untuk menertibkannya.

Banyak pihak mengecam bentrokan itu sebagai tindakan yang tidak humanis karena Gubernur tidak mengizinkan ada dialog atau negosiasi apapun. Ahok ingin semua sesuai dengan rencana semula yaitu warga kampung Pulo pindah ke rumah susun yang sudah disediakan. Sedangkan para pengontrak rumah di Kampung pulo diharuskan pindah dari situ. Kabarnya, setelah gubernur ‘membereskan’ kampung pulo, dia juga segera akan ‘membereskan’ warga di sekitar Bidara Cina. Semua kebijakan ini mengatasnamakan sodetan yang dibuat untuk menghindari banjir.

Banjir sering identik dengan tak adanya serapan air antara hulu dengan hilir karena adanya bangunan di lahan resapan. Banjir juga bisa disebabkan karena banyaknya sampah di sungai dan sebagainya. Tapi banyak yang terlupa bahwa sebagian besar banjir disebabkan karena banyak bangunan di muara sungai alias reklamasi sehingga aliran sungai tak bisa mengalir dengan baik.

Sebagian besar kepala daerah melakukan reklamasi pantai karena dianggap menguntungkan dan dapat menjadi sumber pendapatan daerah tersebut. Selain Jakarta, provinsi yang giat melakukan reklamasi antara lain Manado dan Bali. Sebagian besar daerah reklamasi adalah daerah yang punya nilai ekonomi tinggi. Diatasnya bisanya dibangun perumahan mewah, atau pusat perbelanjaan mewah sampai hotel mewah.

Jakarta sedang merencanakan proyek Giant Sea Wall senilai Rp 500 triliun di Teluk Jakarta. Satu perusahaan bahkan sudah memasarkan hunian di pulau buatan yang akan dibuat. Ini contoh kesekian bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan menjadi dominan seperti proyek Pantai Indah Kapuk oleh Ciputra saat Orde Baru.

Ketika Ciputra melakukan reklamasi di PIK , dua puluh tahun lalu, dia mengatakan bahwa binatang-binatang yang ada di wilayah itu tak akan berkurang. Dia juga berjanji banyak menanam bakau, pohon ketapang dkk. “ Jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya siap dihadapkan ke meja hijau. Saya mempertaruhkan segalanya: nama baik, moral, bank guarantee,” begitu kata Ciputra saat menjawab dampak buruk proyek reklamasi PIK yang merupakan hunian elit di pesisir Jakarta.

Tapi ternyata Ciputra tidak memenuhi janjinya karena ternyata PIK diduga menjadi penyebab banjir dan biang keladi kerusakan lingkungan. Tapi proyek itu banyak menghasilkan uang bagi pemerintah yang sedang berkuasa.

Kini Giant Sea Wall (dulu Sea Dike Plan) di depan mata. Tanggul raksasa yang diperkenalkan sejak zaman Foke menjadi gubernur. Idenya berasal dari seorang konsultan Belanda, dan sudah masuk ke Rencana Tata Ruang Wilayah DKI [2010-2030]. Tembok laut besar sepanjang kurang-lebih 30 kilometer dan membentang dari pesisir Bekasi di timur Jakarta hingga pesisir Tangerang di sebelah barat, Giant Sea Wall konon akan menjadi tanggul terbesar di dunia dan menjadi penampungan air dari 13 sungai yang nanti bisa diubah menjadi sumber air bersih. Tujuannya: menangkal pasang air laut dan mengatasi banjir Jakarta hingga 1.000 tahun ke depan.

Saat jadi gubernur, Jokowi menyebut proyek Giant Sea Wall banyak diminati swasta karena dianggap menarik secara bisnis dan dia benar, sebab proyek ini kemudian dikembangkan menjadi proyek terpadu untuk membuat 17 pulau buatan, yang di atasnya akan dibangun perumahan, hotel, pusat bisnis, belanja dan lain-lain. Sampai akhir tahun lalu, setidaknya ada 12 perusahaan yang tercatat akan terlibat di proyek ini.

Bisa dikatakan bahwa reklamasi Jakarta adalah mesin uang bagi pemerintah dan rakyat dikorbankan bagi ambisi- ambisi pemerintah. Warga Kampung Pulo merupakan contoh bagi rakyat yang tidak berdaya menghadapi kehendak pemerintah yang hanya mementingkan kapitalis dan mengatasnamakan demi kebaikan bersama.

Dengan kenyataan-kenyataan seperti ini, Ahok yang dianggap demokratis ternyata tidak lebih baik dari Orde Baru yang hanya peduli kepentingan pengusaha dan kelas menengah negara.

Zaman Ahok ternyata sama saja dengan situasi di zaman Orde Baru

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun