Hari ini, jika membicarakan mengenai lembaga pemerintahan, tak lepas dari kinerja dan dana serta bagaimana kemajuan bangsa. Begitu banyak pro kontra yang terjadi di negeri ini, banyak maslah yang terus muncul dan mencuat, tentang korupsi, politik, ekonomi, serta pendidikan di negeri ini. Jika kita menenok ke masa lalu, para pejuang bangsa menyuarakan berbagai hal tentang bagaimana agar masyarakat mau saling bersatu padu untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Berteriak tentang kaum miskin agar mendapat kemerdekaan, terbebas dari belenggu penjajahan dan agar hidup dalam kedamaian. Namun saat ini, bukan hal seperti itu yang mereka teriakkan, kebanyakan hal yang diteriakkan oleh para anggota legislative adalah janji manis untuk menghegemoni masyarakat, agar terpilih ada yang membawa nama rakyat, sebagai penyabung lidah rakyat, menjadi agen perubahan dengan begitu mereka mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat. Namun melihat sepak terjangnya saat ini, bisa dikatakan bahwa berbagai bentuk teriakan itu seperti sebuah permen yang di kerubuni semut – manis – dan laris manis.
Ya, kita lihat pada kenyataan sekarang ini, apakah kita akan terus menyalahkan sang penguasa – maaf sebelumnya – ketika tak mampu mengatur bagaimana agar memersatukan menterinya. Saya rasa, beliau sudah melakukan yang terbaik. Namun disini bukan tentang sang pemimpin dan mentrinya yang saya soroti. Yang lebih saya soroti adalah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) negeri ini. Katanya DPR untuk mewakili rakyat, membawa rakyat kepada kesejahteraan. Katanya agar mampu menerima dan menyerap apresiasi rakyat, mengedepankan kepentingan rakyat. Sebagai penyambung lidah rakyat. Saya rasa itu ‘rada’ tidak tepat melihat kondisi saat ini. Lihatlah ‘mereka’ yang tertangkap kamera waktu itu, saling meneriaki dan membanting meja. Saya kira itu untuk rakyat, namun hanya hal perebutan siapa yang menjadi ketua. Lalu mereka meminta kenaikan tunjangan yang syukurnya di tolak. Bagaimana tidak, gaji serta tunjangan mereka saja bisa mencapai angka Rp 800 juta per tahunnya. Lalu melihat mereka yang jarang datang menghadiri rapat. Bahkan kasihan, mungkin karena kecapean kah hingga tertidur saat rapat? Apakah karena mereka terlalu lelah memikirkan nasib rakyat? Bisa saja iya, dan bisa saja tidak. Memang lucu negeriku ini.
Melihat bagaimana sang perwakilan, yang saya tidak habis pikir adalah tentang dampak dan hasil yang mereka berikan. Taukah mereka di daerah pedesaan ada anak yang putus sekolah, bahkan ada mereka yang sulit mendapatkan pembelajaran karena kurangnya fasilitas yang ada, seperti sekolah dan buku yang layak untuk mereka. Menepis bagaimana hebatnya sekolah di perkotaan negeri ini. Dan menepis bagaiamana pendanaan untuk pendidikan oleh mentri pendidikan. Karena bagaimanapun, kami – rakyat kecil – memberikan suara dan dukungan kepada mereka untuk naik tahta agar permaslahan kami di lihat, malah tidak ada bukti nyata yang kita terima. Masih banyak hal yang harus diperbaiki terlebih dulu. Masih banyak rakyat yang mati kelaparan. Terlepas dari penangana mentri ekonomi dan kesehatan. Masih ada rakyat yang masih merasa didiskriminasi dengan kehidupan di negeri ini. Mengerikan memang jika melihat sebuah perkembangan bangsa dari sudut yang lain. Tetapi itu tidak dapat ditepikan. Kita memiliki wakil rakyat, memiliki wakil yang semestinya membantu meneriaki permintaan kami, bukan meneriaki kepentingannya sendiri.
Kesejahteraan yang mereka katakana hanya kebohongan. Di tengah hiruk pikuk kenaikan berbagai macam barang, yang semakin dikeluhkan rakyat. ‘Mereka’ (baca: DPR) malah meminta kenaikan gaji di tahun lalu. Dan sang ketua mengatakan wajar ketika mereka meminta kenaikan tunjangan ditengah inflasi yang terjadi di negeri ini. Wajar karena sudah lama tidak ada kenaikan tunjangan bagi para anggota DPR. Saya rasa beliau lebih menjurus kepada kepentingan pribadi ketimbang kepentingan rakyat, apalagi saat beliau akhirnya turun tahta karena melobi waktu itu. Tentu semua tau permaslahan dari mantan ketua DPR Setya Novanto.
Sedih melihat perjungan hidup rakyat negeri ini. Hingga detik ini, masih ada anak yang tertindas karena kemiskinan. Ini saya rasakan sendiri, ketika salah seorang teman saya – dari salah satu perguruan tinggi daerah saya (Nusa Tenggara Barat) – tak mampu membeli buku. Buku yang dijual oleh salah seorang oknum dosen, kata-kata itu akhirnya menghujaninya dan menyebabkan dia sedikit prustasi dan naik pitam. “kalau miskin gak usah kuliah”.
Begitu mengerikannya dampak dari inflasi itu. Jika saja para Perwakilan menggunakan setengah atau sebagian tunjangannya untuk memberikan tunjangan buku bagi setiap Sekolah dari tingkat dasar hingga menengah serta perguruan tinggi, itu akan lebih bermanfaat, ketimbang hanya mengeluhkan hal yang tak jelas. Jika saja para Perwakilan mau untuk melihat rakya, tentu hal seperti ini tidak akan terjadi bukan. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, bukan menengok kepada rakyat, mereka malah meributkan tentang tunjangan. Takutnya ujung-ujungnya malah jadi kesempatan untuk mengeruk keuntungan sendiri, dan memberi kesempatan mereka memperkaya diri sendiri. Bukankah mereka yang duduk digedung DPR di ibukota sana adalah mereka yang bergelar sarja? Lalu mengapa mereka malah bertingkah seperti seorang yang tak bertitel? Salah negeri ini kah? Atau salah sang pemimpin tertinggi? Saya rasa ini bukan salah sang pemimpin tertinggi. Setiap pemimpin selalu menginginkan yang terbaik bagi rakyatnya.
Bagaimana cara mengatasi hal seperti ini, apakah bisa di atasi? Apakah ini sebuah warisan yang akan terus diterima oleh setiap merek yang mejadi wakil rakyat. Tidak semua memang tapi kebanyakan. Solusi yang paling harus kita terapkan saat ini adalah memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak bangsa. Jangan hanya meminta mereka berpakaian rapi dan bersih, tetapi lihat pemikiran mereka, jangan mengekang ekspresi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H