[caption id="attachment_150194" align="alignleft" width="189" caption="zizzahaz.files.wordpress.com"][/caption] Seorang rohaniawan mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat menyayangi anak-anaknya, bahkan apabila mereka mampu, maka mereka akan menyekolahkan anaknya disekolah terbaik, memberi fasilitas terbaik, mendaftarkan ketempat kuliah terbaik, bahkan sampai mereka berkeluarga, segala keperluan rumah dan pekerjaan pun sudah disediakan bagi mereka yang mampu. Sepertinya kemampuan menerima yang otomatis ada mental meminta sudah tertanam. Meminta adalah hal yang sangat disukai oleh kita semua. Meminta uang jajan bagi anak sekolah, meminta perhatian, meminta ini dan meminta itu. Dalam konteks kemiskinan, mentalitas meminta, seharusnya mulai diubah menjadi mentalitas bekerja bahkan memberi. Perubahan metalitas inilah yang memerlukan pekerjaan yang tidak mudah, tidak seperti halnya membalik telapak tangan kita. [caption id="attachment_150202" align="alignright" width="151" caption="www.mediaindo.co.id"][/caption] Teman saya yang mempunyai hati dalam penanganan Orang Jalanan (tuna wisma) dan Anjal (Anak Jalanan) mengalami banyak kesulitan dalam merubah mentalitas mereka dari budaya yang sekedar mengulurkan tangan di jalan-jalan ke budaya bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Program-program charity memang masih diperlukan apabila menghadapi keadaan mendesak, seperti, kelaparan, kebutuhan penanganan kesehatan segera bagi mereka yang tidak mampu. Tetapi upaya mengubah menjadi manusia yang produktif harus terus diperjuangkan. Bangsa ini adalah bangsa yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar dan mampu menopang kebutuhan bagi masyarakatnya, kepedulian semua orang terutama yang berada didunia pendidikan, sangat diperlukan untuk mentransformasi budaya "tangan dibawah" menjadi budaya "tangan diatas". Beberapa program pemerintah seperti PNPM Mandiri atau program swasta dengan CSR (Corporate Social Responsibility) sangat dibutuhkan untuk menunjang perubahan budaya "tangan dibawah". Diperlukan koordinasi dan sinergi yang baik antara setiap bagian yang peduli, sehingga menghasilkan tujuan bersama yang baik. Pengalaman dilapangan adalah banyaknya praktek korupsi masih bermain disini, ada seorang teman saya yang diberi tawaran donasi bagi para anjal, tetapi dana yang sampai ditangan untuk program tersebut sudah 'disunat', walaupun pada pelaporan yang harus ditandatangani dana yang tercantum penuh. [caption id="attachment_150196" align="alignleft" width="194" caption="ceputelecenter.files.wordpress.com"][/caption] Sebenarnya para pelaku dunia entrepreneurship negeri ini sudah memulai banyak hal untuk merubah negeri ini, mereka bekerja dengan tidak mengenal lelah dalam memajukan kewirausahaan di Indonesia, walaupun tantangan yang terkadang datang dari penguasa sendiri masih saja ditemui. Menurut Pak Cip (panggilan Pak Ciputra), wirausaha di Indonesia hanya bekisar 0.18 % atau 400.000 orang, idealnya untuk menjadi negara maju dibutuhkan minimal 2 % wirausaha dari total jumlah penduduk. Penerapan Social Entrepreneurship dan Social Business seharusnya dikembangkan oleh berbagai pihak yang peduli pada masalah diatas. Sekolah-sekolah entrepreneur yang sudah mulai banyak dibuka oleh kalangan entrepreneur sendiri adalah sarana yang baik untuk menumbuhkan semangat dan jiwa kewirausahaan. Universitas juga sudah menerapkan pendidikan entreprenuer dikampus mereka, seperti yang digagas oleh UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana), Yogyakarta yaituEntrepreneur Research University (ERU), merupakan gagasan yang perlu di support untuk membuat para lulusan universitas bukan sekedar pencari kerja tetapi adalah pemberi kerja. Dibutuhkan semangat yang tidak padam untuk terus mencetak para entrepreneur baru. Salam Kompasiana. -Be Smart Entreprenuer -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H