Dalam sebuah acara diskusi di stasiun televisi swasta pada selasa malam, 10 April 2018 yang dihadiri oleh para ahli hukum dan beberapa tokoh Nasional, Rocky Gerung pengajar mata kuliah filsafat dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa kitab suci adalah hal yang fiksi.Â
Dosen filsafat itu tidak menyebut secara spesifik kitab suci agama apa yang dimaksud dalam pernyataan tersebut, sehingga ketika salah seorang narasumber lain mengklarifikasi maksud pernyataannya itu, Rocky Gerung menolak dianggap melakukan kesalahan. Dalam pandangannya kata fiksi selama ini telah dibebani kebohongan sehingga selalu dianggap sebagai sesuatu yang negatif.
Bagi Gerung, fiksi adalah energi untuk mengaktifkan imajinasi, karena itu fiksi berbeda dengan fiktif. Menurut argumen Rocky Gerung, fiksi adalah hal yang kreatif, ia mencontohkan misalnya kisah Mahabharata itu fiksi tapi kisah itu bukan fiktif. Fiksi akan membangkitkan energi imajinasi sehingga seseorang akan lebih kreatif dalam menjalani proses berkeyakinan. Masih menurut Rocky Gerung, fiksi menyangkut hal-hal yang belum terjadi atau yang diharapkan terjadi dimasa depan yang ia sebut dengan istilah eskatologis.
Saya bukan  bukan ahli filsafat ataupun ahli bahasa, artinya dihadapan Rocky Gerung saya bukan siapa-siapa. Sebagai seorang ilmuwan dan pengajar mata kuliah filsafat tentunya Gerung memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk melemparkan pendapatnya itu dengan gagah berani karena ia tahu, ia telah siap dengan argumen-argumen yang menurutnya ilmiah dan lojik untuk menguatkan pendapatnya itu.Â
Gerung merasa memiliki otoritas dan kemerdekaan untuk mengekspresikan buah fikirannya sebagai bentuk tanggungjawab moral maupun peneguh eksistensinya sebagai ilmuwan pada bidang yang ia tekuni. Dalam hal persepsi dan pemaknaannya terhadap fiksi, secara keilmuan dia tidak bisa langsung kita salahkan, apalagi ia mendalami ilmu filsafat yang bagi orang awam seringkali hanya mampu difahami sebatas akrobat kata-kata.Â
Esensi filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan memiliki karakteristik dan bentuk-bentuk idiomatik yang membutuhkan ruang tersendiri untuk memahaminya. Oleh karena itu, saya sebagai bagian dari orang awam yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk berfilsafat lebih tertarik untuk melihat pernyataan yang disampaikan Gerung tadi dari sudut lain, yakni sosial dan budaya.
Kitab Suci, fiksi ? Â Â Â
Rocky Gerung sebagai ilmuwan boleh saja mengajukan suatu logika tertentu asalkan ia juga sadar bahwa masyarakat bagaimanapun awamnya, juga berhak memiliki logikanya sendiri. Mustahil Gerung tidak tahu bahwa yang selama ini difahami masyarakat secara luas mengenai fiksi adalah khayalan atau rekaan. Oleh sebab itu, kisah fiktif adalah kisah yang dibuat atau ditulis berdasarkan khayalan atau rekaan semata.Â
Berbeda dengan pendapat Gerung, masyarakat luas memahami fiksi dan fiktif sebagai dua kata yang sama, fiksi sebagai kata benda, sedangkan fiktif merupakan pensifatan atau kata sifat.Â
Melihat realitas yang demikian, Rocky Gerung tidak boleh mengkooptasi pemahaman masyarakat dengan menyebut masyarakat telah salah memaknai kata. Ia sebagai seorang ilmuwan bisa saja mengganggap yang tidak memahami pernyataannya sebagai orang-orang yang tidak faham lojik, seperti yang sering dikatakannya dalam diskusi-diskusi yang diikutinya.
Seandainya wacana pemikiran yang disampaikan Rocky Gerung tidak berkaitan dengan sensitivitas agama, saya menduga beberapa kalangan dimasyarakat tidak akan merespons secara reaktif seperti sekarang. Sepertinya Gerung tidak mau tahu dengan hal ini sehingga menganggap apa yang ia katakan mengenai kitab suci itu adalah persoalan yang biasa-biasa saja.Â