Puntadewa harus menunggu hingga 600 tahun sebelum akhirnya masuk ke surgaloka bersama 4 saudaranya, Pandawa. Setelah Baratayudha berakhir dan Pandawa selesai dengan tugasnya didunia, mereka menyerahkan kekuasan kepada anak-anaknya. Namun, Puntadewa sebagai pambarep Pandawa harus tertahan masuk surgaloka karena sebagaimana telah digariskan oleh para dewa bahwa surgaloka tidak bisa dimasuki apapun kecuali oleh ruh.Â
Di tangan kanan Puntadewa tertanam jimat yang membuat Puntadewa mampu menghidupkan orang meninggal yang belum waktunya meninggal. Tapi jimat itu pula yang membuat Puntadewa tak bisa memasuki kematian, meninggalkan raga dan masuk ruang ruh. Dalam buku Centhini: Kekasih yang Tersembunyi yang ditulis oleh Elizabeth D. Inandiak, seorang penulis berkebangsaan Perancis, disebutkan bahwa Puntadewa sempat frustasi dengan keabadian yang ia dapatkan. Ia berniat melakukan bunuh diri dengan berbagai cara namun tetap tak menemui ajalnya.
Atas petunjuk para dewa, Puntadewa memutuskan menjalani laku tapa di Hutan Glagahwangi selama hampir 600 tahun lamanya agar mencapai moksa. Singkat cerita, dengan bantuan Sunan Kalijaga, Puntadewa bisa keluar dari "kutukan" keabadian yang diterimanya. Jimat Kalimausada ditangan kanannya berhasil diambil oleh Sunan Kalijaga dan tidak lama kemudian Puntadewa terpisah dari raganya menyusul 4 saudaranya naik ke surgaloka. Menjelang terpisahnya ruh dari raga Puntadewa, secara arif dan bijak Sunan Kalijaga mengatakan kepada Puntadewa,: "wahai kisanak....ada beberapa agama didunia ini. Engkau yang Budha sedangkan aku Islam dan entah berapa banyak lagi agama lain yang bisa saja tidak kita kenali. Kau menyebutnya Kalimausada tapi ketahuilah, aku menyebut jimat ini sebagai Kalimah Syahadat. Benda inilah yang membuat jasadmu tak dihampiri maut dan rasa sakit".
Sepenggal cerita diatas mengilustrasikan berbagai hal, setidaknya tentang terminologi dan wacana toleransi dalam beragama serta konsep ambiguitas keabadian atau kelanggengan. Kebudayaan Jawa sejak jaman dahulu kala telah meletakkan pilar-pilar toleransi melalui narasi sejarah yang terangkum dalam berbagai karya arsitek, seni dan sastra.Â
Literatur klasik yang tersebar pada banyak peninggalan peradaban Jawa dimasa lampau dengan jelas memperlihatkan kebesaran masyarakat dalam menegakkan marwah hidup bersama diantara berbagai perbedaan. Realitas majemuk yang terekam pada fragmen sejarah masa lampau itu seakan mendeskripsikan bahwa dalam cara pandang yang paling substansial, heterogenitas mustahil ditiadakan.Â
Manusia secara alamiah tumbuh dengan cara berbeda-beda sehingga menghasilkan unikumnya masing-masing. Pun dalam soal-soal religiusitas dan keagamaan, kehidupan masyarakat pada jaman dahulu telah memperlihatkan adanya kedewasaan sikap terhadap adanya perbedaan. Bila dilacak secara arkeologis akan cukup sulit untuk menarik kesimpulan, apakah kebudayaan yang membentuk watak sosial masyarakat ataukah dogma agama yang membentuk ajaran didaktif dan panduan sosial bersama (sosial guidance). Tetapi kita menemukan hubungan yang timbal balik antara pendidikan masyarakat, kebudayaan dan religiusitas.
Kemudian Chairil Anwar memekik nyaring, "aku ingin hidup seribu tahun lagi". Agak sulit untuk mengambil kesimpulan terhadap ungkapan si pendekar sastra ini secara denotatif. Sebagai seorang penyair tentu saja Chairil mengambil diksi sedemikian rupa sehingga sepenggal kalimat tersebut tampak seperti mengandung sebuah ambiguitas. Kehidupan 1000 tahun merupakan suatu konotasi tentang keabadian ruh.Â
Bagi seorang penyair kehidupan abadi diraih ketika karya puisi-pusinya tidak terjebak pada kesementaraan atau kefanaan kata-kata namun apabila ia mampu menghadirkan kata-kata itu seolah-olah menjelmakan kehidupan atau mewartakan kenyataan kehidupan. Pada tahap ini tampak terbukti benar si "binatang jalang" akan hidup seribu tahun. Puisi-puisi Chairil Anwar tetap hidup dan membahana bersama waktu. Saripati hidup yang diperas kedalam bait-bait puisi itulah yang membuatnya hidup dalam keabadian. Sedangkan bagi seorang guru, hidup abadinya adalah ilmu yang kelak diamalkan oleh siswa-siswanya. Seorang pemimpin akan hidup abadi mengatasi jaman jika semua yang ia lakukan saat menjadi pemimpin pada akhirnya akan selalu bersemayam dihati rakyat dari generasi ke generasi.
Kalimausada membuat Puntadewa terbebas dari rasa sakit, tak tersentuh duka dan tak terjamah kematian. Namun bagi Puntadewa hal itu tak bernilai sama sekali dibandingkan dengan pencapaian ruhani. Kehidupan jasad yang tanpa batas menjadikan Puntadewa tak kuat menahan derita kesunyian. Cerita ini menjadi antitesa terhadap pandangan materialistik yang merumuskan kelanggengan dan keabadian berupa terjauhkannya seseorang dari rasa sedih, sakit dan terbebaskannya diri dari kematian.Â
Keabadian yang sejati bukanlah kehidupan jasad/materi/fisik yang terus-menerus, bukan pula bermakna ketiadaan batas. Abadi adalah pencapaian seseorang yang mampu melintasi batas-batas fisik, ruang dan waktu meskipun secara fisik jasadiah ia telah mati. Keabadian Puntadewa tercermin dari tertanam kuatnya memori masyarakat (khususnya Jawa) terhadap kesabaran, keikhlasan dan sikap rendah hati yang diidentikkan kepada Puntadewa, seorang satria "berdarah putih" itu.Â
Hal serupa akan berlaku terhadap fisikawan tersohor Stephen Hawking yang meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Hawking pernah berujar bahwa manusia bisa abadi, tapi keabadian manusia tidak berwujud tubuh. Menurut Hawking, yang abadi dari manusia adalah mind atau fikiran. Tubuh dan fisik bisa hancur tapi fikiran dan gagasan akan abadi. Kita tunggu saja kebenaran kata-kata Stephen Hawking tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H