Dalam konteks agama dan budaya, perlu ada rekonstruksi ulang wacana suku dan agama di Papua. Berdasarkan tulisan Rizzo dan Harple, tampak selama ini ada kesalahpahaman tentang suku dan agama di Papua. Orang Papua diindentikkan dengan Kristen, sementara agama lain di pandang bukan Papua. Generalisasi ini memengaruhi pembentukan identitas ke-Papua-an. Kesalahpahaman inilah yang akhirnya memunculkan asumsi bahwa keragaman agama di Papua menjadi persoalan.
Beberapa suku di Papua memang mengindentikkan diri sebagai Kristen. Ini tercermin dalam beberapa tulisan, misalnya, dari Bensley (1994), The Dani Church of Irian Jaya and the Challenges It’s Facing Today, yang menjelaskan kegelisahan masyarakat Dani menghadapi banyak pendatang Muslim. Masyarakat Dani menganggap kehadiran pendatang Muslim mengkhawatirkan bagi identitas Kristen orang Papua . Namun bila dilihat lebih jauh, Islam dan katolik sebenarnya tidak mendalangi penolakan dari orang Papua. Penolakan terjadi lebih karena perilaku yang di nilai menyinggung tata nilai ketertiban di Papua.
Potret Kampung Wonorejo, Arso Timur, menunjukkan kepada kita semua tentang kehidupan toleransi antarumat beragama yang patut di tinjau lebih dalam dari pelbagai aspek yang menjadi tata nilai hidup masyarakat Kampung Wonorejo. Disana, keragaman suku bangsa menjadi modal social.
Data dari Stuatr Upton menyatakan bahwa sejak 1971 mulai ada catatan migrasi di Papua. Data pada 1971 menyebutkan angka pendatang mencapai 37.251 orang dari total jumlah penduduk Papua 923.440. Sebagian besar pendatang menetap di Papua dalam kurun waktu 5 -9 tahun. Sebagian besar dari mereka berasal dari Maluku dan Sulawesi Selatan.
Keberadaan pelbagai suku bangsa yang ada di kamung Wonorejo ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah tentang transmigrasi. Program transmigrasi di mulai sejak pemerintah Orde Baru pada tahun 1961. Dalam kasus Wonorejo, menurut data lapangan sampaikan Bapak Ronni Kolap asal Maluku. Menurutnya, latar belakang kehidupan mereka di Kampung Wonorejo sudah mengalami asimilasi budaya dan agama ; diantaranya melalui perkawinan antar suku dan perkawinan beda agama. Kampung Wonorejo memberikan banyak pengetahuan tentang nilai kultural yang hidup dan berkembang. Bagi orang-orang Wonorejo, Keberagaman adalah Kekayaan.
Namun dalam perkembangannya, ada beberapa yang layak jadi catatan. Pertumbuhan angka migrasi ke Papua berefek pada munculnya kesenjangan dalam akses ekonomi. Hal ini terjadi di Wonorejo dan kampung-kampung sekitarnya, misalnya Kampung Kibay. Penduduk asli Kibay terdiri dari 121 Kepala Keluarga. Sebagian dari mereka tersebar di Distrik Arso. Wilayah Kibay memiliki potensi sumber daya alam seperti hutan dan hasil pertanian yang melimpah. Warganya menanam sayur dan umbi-umbian untuk di kosumsi sebagai makanan penggantberas. Para wanita di kampung ini juga terampil menganyam noken dari kulit pohon. Sementara sebagianwarga bekerja serabutan menebang kayu sekaligus tukang bangunan. Ada pula yang menjadi buruh harian di perkebunan PT. Rajawali Goup yang kini membuka ribuan hektar kebun sawit di Kampung Yeti. Sebagian kecilnya menjadi tenaga lepas di perusahaan perkebunan kelapa sawit PTPN II di Arso Kota.
Potret Kampung Kibay memberi gambaran kepada kita tentang mata pencaharian sebagian besar penduduk kampung asli Papua dan kampung transmigrasi, seperti kampung Wonorejo. Di Wonorejo, kehidupan masyarakat cukup harmonis. Bila terjadi hal-hal yang menyangkut hukum, seperti pencurian atau gangguan kamtibmas lainnya, akan diproses secara hukum tetapi setelah melalui paguyuban adat. Jika ada kerusuhan di Kampung, paguyuban selalu berperan penting dalam proses penyelesaian masalah.
Dalam kaitannya dengan migrasi , Robert Putman[1] pernah mengkaji relasi modal social dengan keragaman suku bangsa yang dipengaruhi oleh proses imigrasi. Ia mengartikan modal social sebagai hubungan timbal balik antar individu dalam jaringan social, norma-norma dan kepercayaan yang muncul di antara mereka. Gagasan ini tercermin dalam tradisi seperti yang diceritakan oleh ibu kepala Kampung, Mama Wey, tentang adanya paguyuban Jawa yang memproduksi kue kering pada saat perayaan Natal. Kue itu dipesan oleh para staf dari Kantor Bupati Keerom sampai Kantor Gubernur Provinsi Papua. Kue berbahan utama tepung singkong yang dibuat sendiri, bukan berasal dari tepung yang dijual ditoko. Biaya produksi kue tersebut lebih murah, dan keuntungannya bias mencapai 3 sampai 4 kali lipat disbanding membeli bahan dari took. Kue yang dihasikan paguyuban Jawa tersebut lebih enak dan gurih serta jika dikonsumsi dalam jumlah banyak tidak membuat tenggorokan menjadi sakit.
Jika, kita perhatikan, terdapat transfer pengetahuan antara perempuan Papua dan perempuan transmigrasi yang berasal dari Jawa. Selain mengajarkan perempuan Papua cara membuat kue dari bahan tepung singkong, ibu-ibu  dari Jawa tersebut juga mengajarkan cara membuat sayur dari batang pohon pisang. Bagi orang papua , batang pohon pisang  setelah ditebang kemudian dibuang. Perempuan Jawa kemudian mengajarkan cara mengolah batang pohon pisang menjadi sayur yang siap untuk di santap.
Proses pengolahannya dengan cara menguliti batang pisang hingga kelihatan bagian dalam yang berwarna putih, batang tersebut diiris halus, dicampur garam dan diperas hingga getahnya keluar. Proses selanjutnya batang tersebut dicuci dan dicampur bumbu-bumbu untuk diolah menjadi sayur. Bagi perempuan Papua, kedatangan para transmigran sangat membantu mereka memasak dengan baik dan mengolah makanan dari pelbagai macam bahan.
Dilihat dari aspek interaksi antaragama, hubungan perempuan Papua dan perempuan transmigran tidak mengalami pengkotakan. Masing-masing tidak menajamkan identitas tradisi atau agama yang dapat membuat hubungan sosial menjadi terbatas. Sebaliknya mereka menganggap bahwa perbedaan budaya dan agama merupakan kekayaan yang harus dilestarikan.