Rekam Jejak kekerasan di Papua tidak terlepas dari berbagai bentuk perspektif kita memahami konflik sosial politik di Papua, dan seperti kita ketahui kekerasan senantiasa akan memproduksi kekerasan. Rakyat seolah berdiri saling memihak atau berhadap-hadapan sehingga dipenuhi rasa takut dan saling curiga. Dan ironisnya, rakyat jarang didengar dan diajak untuk menyelesaikan persoalan. Dan kadang beberapa kebijakan pemerintah seringkali ditolak masyarakat, karena dinilai sebagai kebijakan yang tidak aspiratif bahkan terkesan diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah berdampak pada berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah, tidak mendapat respon dari masyarakat, begitupun sebaliknya Pemerintah juga tidak percaya kepada rakyatnya, hal ini dapat kita jumpai diberbagai media massa dan forum-forum penting pada tataran formal, sering terjadi adu argumentasi dan perang terbuka yang tidak menyelesaikan sebuah persoalan secara holistic.
Dialog merupakan jembatan yang harus diperjuangkan dan gagasan dialog ini merupakan salah satu rekomendasi dari Kongres Papua II Tahun 2000 untuk menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Dan Pendekatan dialog ini merupakan upaya kongrit dari beberapa aktivis yang tidak pernah berhenti berjuang bagi kedamaian diatas Tanah Papua. Dan guna memperjuangkan gagasan damai melalui dialog, para aktivis, tokoh adat dan agama membentuk Jaringan Damai Papua (JDP) yang di koordinasikan oleh Pastor Dr. Neles Tebay, Pr dan Dr. Muridan Satrio Widjojo , (Almarhum). Jaringan ini dibuat secara sukarela untuk mengkampanyekan penyelesaian masalah tanpa kekerasan.
Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan dukungan semua pihak adalah melalui Konferensi Perdamaian Tanah Papua (KPP) yang dilaksanakan pada tanggal 5 – 7 Juli 2011 di Auditorium Universitas Cenderawasih di Jayapura, yang menghadirkan peserta yang mewakili daerah konsultasi public yang telah dilakukanJaringan Damai Papua sebelumnya.
Dukungan Dialog juga mendapat respon positif dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpidato untuk merespon sejumlah aksi kekeraran di Papua, termasuk kekerasan saat pelaksaan Kongres Rakyat Papua (KRP) III. Namun respon itu tidak berdampak positif karena pemerintah lebih mengedepankan wacana dialog dari pada aksi nyata ditengah kebutuntuan komunikasi antar berbagai stakeholder di papua saat itu, yang muncul diberbagai pihak adalah kecemburuan berlebihan antara ketidak percayaan Pemerintah kepada rakyatnya tetapi juga sebaliknya.
Dan bila di kaji dari perspektifbudaya, bahasa dan suku tentu ada potensi konflik besar yang siap menjadi bom waktu, kita tahu orang asli papua (OAP) bahkan sudah tidak percaya dengan pemerintahan saat itu.
Salah satu kebijakan Pemerintah saat itu adalah Block Grant yaitu melalui Guberbur Barnabas Suebu, SH dialokasikan uang tunai Rp. 100 Juta perkampung masih belum menjawah persoalan mendasar terkait identitas dan harga diri orang Papua yang telah dikorbankan Pemerintah sejak Papua/Irian Barat bergabung kedalam NKRI , berbagai bentuk kebijakan untuk Papua selalu di ikuti oleh kecurigaan Jakarta kepada Rakyat Papua. Di Papua sendiri Masyarakat sudah tidak percaya dengan Pemerintahan yang ada, anak-anak Papua yang dipercayakan sebagai Pemimpin di Papua tidak mampubertindak atas nama rakyatnya. Seperti kita ketahui Mama-mama Pedagang Asli Papua (MPAP) telah mengalami penggusuran sejak Pasar Ampera Jayapura ditutup oleh Pemerintah Kotamadya Jayapura dan berbagai bentuk kebijakan selalu berakhir pada kekerasan. Dan hal yang paling penting adalah bagaimana mengelolah perbedaan yang ada dinegara kita ini melalui berbagai suku, agama, dan bahasa untuk menjadi sebuah modal utama membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah dan sebaliknya adalah melalui gagasan Dialog terbuka dengan mengedepankan asas-asas demokrasi, dan tentunya dalam tataran wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rakyat Papua butuh didengar bukan dengan telinga saja, tetapi dengan Hati para Pemimpin di Negara ini
Pembangunan Kampung, Barnabas Suebu, SH, Hal.9
Mama-mama Pedagang Asli Papua terasing di atas tanahnya sendiri , REKAM JEJAK, SKPKC-FP, Hal. 1
Catatan : Artikel ini merupakan hasil seleksi pada Sekolah Pengelolah Keberagaman Papua kerja sama dengan Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya - Universitas Gadjah Mada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H