Mohon tunggu...
Fatimah Azwa
Fatimah Azwa Mohon Tunggu... -

'don't judge me if you don't know anything about me' #Spensabaya #8I #11

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

I Love You Ayah

12 Oktober 2013   19:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:38 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nafasku sudah tak beraturan,kondisi tubuhku pun sudah berantakan. Meskipun begitu, aku terus berlari menyusuri lorong rumah sakit yang lumayan ramai. Tak peduli kata-kata orang yang tak sengaja ku tabrak saat berlari, tak perduli cemohan orang yang mengatakan “hei,kau pikir ini dimana sehingga kau bisa berlari seenaknya” “perhatikan jalanmu!”. Tak, aku tak peduli itu semua. Yang hanya ada dipikiranku saat ini hayalah satu, ayah.

“Olive,cepatlah kemari! Ayahmu tiba-tiba pingsan tadi. Cepatlah”

Terlintas perkataan yang diucapkan pamanku di telfon tadi. Sekitar 1 jam setelah aku menginjakkan kaki keluar dari rumah,ia menelfonku dan mengatakan bahwa ayah sekarang berada dirumah sakit. Tanpa basa-basi aku pun langsung menuju rumah sakit yang dimaksud.

Paman Mike, satu-satunya paman yang aku punya. Dia memang berkunjung ke rumah sejak kemarin dan memutuskan untuk menginap selama 1 minggu. Sangatlah beruntung saat ia memutuskan untuk menginap, jika tidak, entahlah apa yang akan terjadi pada ayah.

Oh Ayah, kau kenapa? Mengapa kau tiba-tiba seperti ini. Astaga, pikiranku mulai tak teratur.

Setelah sampai di pertigaan di ujung lorong, kepalaku terangkat untuk menoleh ke arah kanan- kiri. Sangat terlihat dengan jelas seseorang bertubuh jangkung,berumur sekitar 40 tahun-an berdiri di ujung lorong sebelah kanan dengan melipatkan tangan didada dan menampakkan raut muka khawatir di wajahnya. Sudah sangatlah jelas, itu Paman Mike.

Segeralah aku berlari menuju kearahnya. Karena suara sepatuku yang berat,sehingga saat berlari menghasilkan suara sedikit keras membuat dirinya mengangkat kepalanya yang semula menunduk menjadi tegak mengarahkan pandangan ke arahku yang datang dengan berlari.

Tangannya yang semula ia lipat didada,sekarang ia turunkan dan langsung memelukku ketika aku sampai didekatnya. Mungkin ia tau jika saat ini aku sedang khawatir pada ayah yang entah sekarang dimana.

“Tenanglah,tak apa. Aku yakin ayahmu tak apa. Percayalah” katanya menenangkanku saat aku masih didekapannya.

“Paman, dimana ayah?” tanyaku dengan sedikit terisak menghawatirkan keadaan ayah,saat ia mulai melepaskan dekapannya.

“Dia di dalam sekarang” jawabnya dengan menggerakkan kepalanya,menunjuk ruang UGD di sampingnya “Percayalah, aku yakin tak akan terjadi apa- apa padanya.” Lanjutnya.

“Paman,bagaimana bisa? Maksudku bagaimana bisa ia tiba-tiba pingsan seperti itu?” khawatir. Itu yang aku rasakan sekarang saat mengetahui ia tiba-tiba pingsan tadi.

“Aku tak tau bagaimana aslinya,tapi tadi saat ia hendak membuat secangkir teh di dapur, tiba-tiba ia memegangi kepalanya dan sedikit berteriak kemudian pingsan. Aku tak tau mengapa ia tiba-tiba seperti itu,jadi langsung saja aku bawa ia kemari” jelas Paman Mike,menjelaskan kronologi tentang ayah tadi.

Oh tidak,apa ini ada hubungannya dengan kata-katanya yang aneh akhir-akhir ini. Apa ini ada hubungannya dengan ia yang selalu melamun dan memikirkan sesuatu. Apa selama ini ayah telah menyembunyikan sesuatu dariku?

Tidak. Aku mulai terisak kembali. Aku takut. Ya aku takut terjadi sesuatu pada ayah. Aku takut ia meninggalkanku secara tiba-tiba. Aku takut.

“Bagaimana jika Ayah tak bersamamu?”

Teringat kata-kata ayah malam itu yang menanyakan jika ia tak akan bersamaku lagi. Bagaimana jika ayah jika tak bersamaku lagi ? entahlah, mungkin tak akan ada lagi senyum di wajahku.

“sebenarnya ayah tak mau meninggalkanmu, tapi inilah takdir”

Sebenarnya apa maksud ia mengatakan itu semua? Apakah .. oh tidak,tidak,itu tak mungkin ..

“Tenanglah” Paman menenangkanku kembali saat mengetahui aku terisak kembali. Lalu ia membawaku untuk duduk dikursi dekat pintu masuk UGD. Perlahan tapi pasti,ku ikuti langkahnya dan mendudukkan diriku pada kursi itu.

Tak lama semenjak aku terduduk di kursi itu, pintu ruang UGD terbuka. Keluarlah seorang pria dengan jas putih dengan stetoskop menggantung dilehernya. Dan yang ku sadari bahwa ia adalah Dokter yang menangani Ayah.

Tanpa basa-basi langsung kuhampiri dia dan menanyakan keadaan ayah “Bagaimana keadaan ayah saya? Ia baik-baik saja kan?” tanyaku dengan nada sangat khawatir.

“Anda anaknya?” aku mengangguk cepat “Baiklah,mari ikut saya ke ruang dokter. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada anda”

Deg. Mengapa sampai ada pembicaraan serius seperti ini. Seharusnya, jika memang tak terjadi apa- apa pada ayah ia bisa mengatakannya disini. Oh tuhan, ada apa ini?

****

“Jadi bagaimana keadaannya dok?” tanyaku dengan nada pelan ­­—karena sungguh aku takut sesuatu terjadi dengan ayah— kepada Ahmedd Bey, dokter itu. Terlihat dari nama yang terpampang di jas nya,dan dari wajahnya sepertinya ia bukanlah orang asli dari negara sini. Dari wajahnya yang arabian face,sangatlah jelas jika ia bukanlah orang asli New York..

“Begini, apa sebelumnya anda sudah mengetahui penyakit yang diderita oleh Mr.Britt ?” tanya sang dokter dengan hati-hati saat mengatakan ‘Penyakit yang diderita’

Apa yang ia maksud dengan ‘Penyakit’? aku tak pernah tau jika ayah memiliki suatu penyakit. Apakah penyakit itu sangat serius? Oh Tuhan, semoga tak terjadi apa-apa pada malaikatku itu.

“Penyakit? Penyakit apa dok? Saya tak pernah tau jika ayah saya memiliki suatu penyakit. Apakah penyakit itu serius dok? Sampai-sampai harus di bicarakan seperti ini.”

“jadi anda belum mengetahuinya?” tersirat raut wajah kasihan pada wajah dokter itu. Apa maksud ini semua?

Aku menggeleng pelan “Ya,saya belum mengetahuinya.Ia tak pernah berkata apapun perihal penyakitnya.” jawabku mulai frustasi.

“Maaf,ayah anda terserang penyakit kanker otak. Dan kankernya ini sudah mencapai stadium akhir”

Degg!

Mendengan jawaban itu,serasa ada batu yang menerobos masuk ke hatiku. Sakit,kecewa,sedih bercampur jadi satu. Ini bukanlah penyakit yang biasa, ini penyakit yang sangat-sangat serius dan bisa berdampak kematian. Kematian? Astaga, ayah! Apakah ini semua maksud semua perkataanmu selama ini yang akhir-akhir ini mulai aneh itu?

Tak bisa kutahan, air mata mulai berjatuhan turun dari pelupuk mataku. Salah satu tanganku menutup mulutku yang terbuka karena terkejutnya aku pada jawaban itu. Aku mulai terisak.

“Apa dok? Kanker? Stadium akhir? Oh tidak,tapi ia tak pernah mengatakan ini pada saya dok,”

“Ia adalah seorang ayah yang menurut saya sangatlah bijak. Kau ialah satu-satunya anaknya, mungkin ia tak mau melihatmu khawatir akan keadaannya” ia berkata dengan nada kesedihan.

“tapi seharusnya ia berkata sejujurnya padaku. Dan apa yang akan terjadi selanjutnya dok? Ia pasti sembuh kan dok?” jujur. Aku ingin dia sembuh,

“Itu yang ingin saya sampaikan pada anda.. maafkan saya, saya tak bisa melakukan hal apapun lagi. Kanker ini sudah stadium akhir.”katanya penuh penyesalan “Terakhir aku bertemu ayahmu 2 hari yang lalu,dan ia berkata ia telah merelakan semuanya”

“Maksud anda?” jujur,aku bingung maksud dari perkataannya.

“Umur ayah anda sudah tak akan lama lagi”

Deg! Tidak, itu tak boleh terjadi. Tak boleh! Oh ayah..

Kepalaku menggeleng cepat. Aku tak mau mendengarkan kata dokter itu lagi, cukup. Aku langsung pergi meninggalkan ruangan dokter itu dan langsung berlari menuju kamar ayah.

Tak mengetuk pintu,tak memberi salam,aku langsung menerobos masuk ke ruang inap ayah.

Ayah? Ia tengah berbaring lemah di kasur ruang itu,dengan banyak peralatan disekitarnya. Aku tak tahan, aku langsung menghampirinya dan memeluknya erat.

“Ayah!! Bangun ayah,ku mohon. Ayolah ini bukanlah saatnya untuk bercanda seperti ini. Aku tau kau tak mungkin memiliki penyakit jahat itu kan? Kau adalah malaikat dihidupku ayah, tak mungkin penyakit jahat itu bisa ada ditubuhmu. Ku mohon ayah,bangunlah” akuterisak kencang. Sangat.

Disana aku melihat Paman Mike berdiri di ambang pintu,wajahnya juga seperti habis menangis. Jika ini mimpi, ku mohon hentikan mimpi ini, bangunkan aku. Ini mimpi yang sangatlah buruk

“O-o-lli-ve” aku mendengar suara serak berat merasuki telingaku,suara itu , itu suara ayah.

“Ayah? Ayah,kau bangun. Aku yakin kau pasti bangun”

“Olive maafkan ayah,” katanya dengan mengusap lembut pipiku.

“Tidak, tak ada yang perlu dimaafkan. Kau tak salah, ayo ayah, kau harus cepat pulih. Kita harus makan bersama lagi ayah,aku ingin kau membuatkan aku sup itu lagi. Aku ingin berjalan-jalan menggelilingi kota malam lagi, aku ngin mendengarkan ceritamu lagi saat kau berhasil mengerjai si pak tua itu. Ku mohon ayah,” Kataku dengan nada sedikit tinggi, aku frustasi sekarang.

“Olive dengarkan ayah, ayah takk bisa. Maafkan selama ini ayah tak pernah memberi tahumu soal penyakit itu”

“Penyakit? Tidak, aku yakin dokter itu bodoh ayah, tak mungkin kau memiliki penyakit itu ayah. Percayalah.” Sergahku dengan menggeleng cepat.

“Tidak olive, semua itu benar. Umurku sudah tak lama lagi olive, kau harus menerimanya. Maafkan,maafkan ayah. Sebentar lagi ayah sudah tak bisa menemanimu untuk makan lagi,ayah sudah tak bisa membuatkanmu sup itu lagi, ayah tak bisa bercerita apapun lagi padamu. Maaf. Tapi kau tau, Paman mu itu juga pintar memasak,kau harus tau itu. Jika ayah nanti tak ada, dia bisa membuatkanmu sup itu. Rasanya tak akan jauh beda,” katanya dengan tersenyum di akhir.

Tersenyum? Kau masih bisa tersenyum di saat- saat seperti ini ayah?. Aku terisak dengan kencang dengan memeluk ayah dengan sangat-sangat erat.

“Ayah..” aku menangis sekencang- kencangnya memanggil namanya.

“Maafkan ayah olive,” kudengar nafasnya mulai berkurang. Oh tidak, aku belum siap. “Ayy-ah-Sa-yya-aang-Ka-amm-mu-Oll-iive”

Deg!

Kata terakhir yang kudengar dari ayah sebelum tangannya yang semula di punggungku yang sedang memelukku,turun jatuh seraya terlihat sangat jelas ayah menutup matanya.

“Ayaahhh!!” aku menjerit memanggilnya. Oh tuhan,aku ingin kau cabut saja nyawaku sekarang dari pada harus melihatnya pergi meninggalkanku seperti ini dan tak akan pernah kembali.

Ku mohon jangan,ku mohon jangan sekarang. Ayah ku mohon bangunlah,ku mohon.

Ku guncang-guncangkan tubuh ayah agar ia bangun. Aku ingin ia bangun sekarang.

“Ayah,bangunlah.. ini bukan saatnya tidur ayah,ku mohon” teriakku memohon dengan air mata yang mengalir deras dari mataku.

Ku rasakan seseorang sedang memelukku.Saat ku lihat,ternyata ia adalah Paman Mike. Dia juga menangis,

Oh tuhan,ku mohon jangan pisahkan aku dengan dia. Ku mohon, kembalikan nyawanya. Ku mohon, ia masih layak hidup di dunia ini. Siapa yang akan menemani hari- hariku setelah ini. Siapa?

2 tahun kemudian...

“Baiklah Paman,tak apa. Tenang saja..”

“Ok,sekali lagi maafkan Paman mu ini ya,olive?”

“Iyaa,tak apa”

“Ya sudah,Paman ada urusan sekarang. Bisakah aku tutup telfonnya?”

“Boleh lah Paman, ya sudah. Bye”

Tut.. tut.. tut.. ku matikan sambungan telfon antara aku dengan Paman Mike. Hari ini tepat pada tanggal 20 Juni 2015, dan tepat pula 2 tahun kematian ayah. Dan sudah 2 tahun pula aku tinggal seorang diri. Awalnya memang Paman Mike menyuruhku agar tinggal bersamanya dengan Bibi Sarah. Tapi aku menolak, aku tak ingin membuat mereka repot hanya karena diriku.

Ku pandangi bingkai foto ayah yang sedang ku pegang ini. Melihatnya tersenyum membuatku rindu akan dirinya. Akan semua yang telah ia lakukan padaku.

“Bagaimana dirimu sekarang di sana? Apakah kau baik-baik saja?” ku pandangi sang langit biru, berharap sang langit dapat memberi tahu keadaannya di sana.

“Ayah, kau tau? Aku benar-benar merindukanmu. Mungkin memang aku mulai bisa menerima keadaan ini, tapi sungguh sangat menyakitkan hari-hariku selama ini tanpamu,” aku memang sangatlah berharap kau dapat kembali disisi ku, menemaniku,membantuku,mengasihiku,dan dapat menjalani indahnya hidup bersama kembali.

Ku penjamkan mata dan menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku. Duduk sendiri di balkon depan kamarku, itulah yang tengah kulakukan. Dengan mengingat- ingat semua kenanganku bersamanya sangatlah membuatku makin merasa rindu akan sosok ayahku itu.

Teringat akan saat diriku masih kecil,belaian dari sosok Ibu dan kasih sayang dari sosok Ayah yang selalu ku dapat. Ayah yang selalu mengawasiku ketika aku mulai belajar berjalan,yang selalu menangkapku ketika ku jatuh dalam mencoba,yang tetap menyemangatiku agar ku bisa. Ibu yang berteriak gembira ketika ku bisa berjalan, yang memelukku dengan sejuta rasa bahagia, yang selalu setia mendengarkan apapun keluh kesahku setiap saat. Ke manakah mereka semua? Ke manakah Ayah yang selalu menenangkanku setiap kali ku teringat akan Ibu,ke mana ia? Mungkin saat Ibu pergi meninggalkanku,masih ada Ayah yang selalu setia disampingku. Tapi bagaimana dengan sekarang? Harus pada siapa ku bercerita akan kesedihanku?

Mungkin semua akan menjadi kenangan, tapi kenangan itu akan selalu abadi dan tak terlupakan.

“I Love You, ayah. Today, Tomorrow and Forever..”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun