LATAR BELAKANG
Korupsi merupakan suatu kejahatan keji yang merugikan banyak orang. Oleh karena itu, eksistensi suatu lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi rasanya sangat diperlukan mengingat aparat penegak hukum yang ada belum efektif dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Untuk itu, kita memiliki suatu lembaga khusus pemberantasan korupsi yang bertugas menangani kasus korupsi tertentu dari mulai penyelidikan, penyidikan, sampai dengan penuntutan, yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang sering disingkat KPK.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sejak dibentuknya KPK sampai saat ini terasa semakin baik jika dibandingkan dengan masa sebelum dibentuknya KPK. Hal tersebut terbukti dari betapa banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang berhasil diungkap oleh KPK. Banyak koruptor yang telah dihukum berkat kerja keras KPK. Keberhasilan KPK dalam mengungkapkan kasus-kasus besar tersebut didukung oleh kewenangan KPK dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni undang-undang yang juga menjadi dasar pembentukan KPK.
Beberapa waktu lalu, media massa di Indonesia ramai memberitakan mengenai draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Muncul pro-kontra dari berbagai pihak terkait beberapa poin yang rencananya akan diubah pada undang-undang tersebut. Salah satunya, yang paling menghebohkan adalah mengenai usulan peniadaan unsur penuntutan dalam tugas KPK. Padahal, banyaknya kasus korupsi yang telah berhasil diungkapkan oleh KPK tentu saja merupakan hasil kerja keras KPK dengan tugas yang diemban KPK, salah satunya yaitu unsur penuntutan tersebut.
Yang menarik, berbagai kalangan beranggapan bahwa draf usulan revisi undang-undang tersebut merupakan upaya pelemahan KPK dalam menjalankan tugas untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Mini paper ini saya buat untuk membahas mengenai seberapa urgen revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai peniadaan unsur penuntutan dalam tugas KPK dikaitkan dengan dasar dan tujuan pembentukan KPK dan untuk melengkapi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum.
RUMUSAN MASALAH
1.Seberapa urgenkah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi mengenai peniadaan unsur penuntutan dalam wewenang KPK dikaitkan dengan dasar dan tujuan pembentukan KPK?
PEMBAHASAN
Menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi adalahlembaga negara yang dalammelaksanakan tugas dan wewenangnyabersifat independen danbebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
KPK memiliki tugas, wewenang, dan kewajiban sebagaimana tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut:
Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alatbukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi adalah menimbang:
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;
b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan kutipan undang-undang di atas, dapat kita ketahui bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi sampai dengan undang-undang tersebut dibentuk belum dapat dilaksanakan secara optimal sehingga perlu ditingkatkan karena merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Selain itu, lembaga pemerintah yang menangangani perkara tindak pidana korupsi, saat itu polisi dan kejaksaan, belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Kemudian, sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, berdasarkan semua itu dibentuklah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada kutipan undang-undang yang telah disebutkan di atas, dapat kita lihat betapa luasnya tugas, wewenang, dan kewajiban KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. Tugas, wewenang, dan kewajiban KPK tersebut telah memungkinkan berhasilnya KPK untuk mengungkap banyak kasus korupsi dari awal terbentuknya KPK hingga saat ini. Namun, beberapa waktu yang lalu diajukan suatu draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menghebohkan masyarakat dari bebagai kalangan.
Draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut menuai kontroversi terkait dengan beberapa poin yang diusulkan untuk direvisi dalam draf tersebut. Ada tiga poin utama yang menjadi perhatian publik, yaitu peniadaan tugas KPK untuk melakukan penuntutan kasus tindak pidana korupsi, penambahan syarat untuk melakukan penyadapan, dan rencana pembentukan dewan pengawas KPK. Yang akan kita bahas lebih lanjut adalah poin pertama, yaitu peniadaan wewenang KPK untuk melakukan penuntutan kasus tindak pidana korupsi.
Berikut kutipan pasal lama dan perubahannya. Perubahan pertama sudah muncul di Pasal 1 ayat 3 terkait definisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, definisinya adalah sebagai berikut:“Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaiantindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidanakorupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku.”
Sementara pada draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsiyang baru, definisinya adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, dan penyidikan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dapat kita lihat bahwa terdapat satu unsur yang dikurangi oleh draf usulan revisi undang-undang tersebut, yakni unsur penuntutan.
DPR tambah memperkuat soal pengurangan kewenangan penuntutan dalam pasal 6 dan 7 draf RUU tersebut. Pasal 6 ayat 3 draf RUU itu hanya menyebutkan tugas KPK adalah untuk menyelidiki dan menyidik tindak pidana korupsi.
Bahkan, dalam Pasal 7 ayat a diulangi, dimana kewenangan penuntutan KPK semakin dipersempit hanya berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan saja.
Disebutkan bahwa alasan penghilanganfungsipenuntutan adalah agar KPK fokus dipencegahan dan penyelidikan serta penyidikan saja, sedangkan penuntutan dialihkan ke kejaksaan sebagaimana ditentukan UU No 16 Tahun 2004 tentangKejaksaan.Otomatis menghilangkan tumpang tindih fungsi antar institusi dalam penegakan hukum.
Namun, banyak pihak yang tidak setuju mengenai draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Bahkan, draf usulan revisi tersebut menuai kontroversi. Banyak pihak menuding bahwa draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut merupakan upaya pelemahan KPK mengingat banyaknya kasus yang telah terungkap berkat kinerja KPK.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, dasar pembentukan KPK adalah salah satunya menimbang bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsibelum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidanakorupsi. Lembaga yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah lembaga kepolisian dan kejaksaan.
Seperti yang kita ketahui, lembaga kejaksaan saat ini dapat dikatakan belum berfungsi secara efektif dan efisien. Mengingat bahwa lembaga kejaksaan sampai saat ini dinilai belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, tentu saja peniadaan tugas KPK dalam penuntutan dengan menyerahkannya kepada kejaksaan tidaklah tepat. Tumpang tindih fungsi antar institusi dalam penegakan hukum rasanya tidak dapat dijadikan alasan mengingat perbedaan kuasa kejaksaan dengan KPK yang jelas. KPK hanya melakukan penuntutan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang telah diselidiki dan disidik oleh KPK sendiri atau kasus yang diambil alih oleh KPK karena dirasa perlu dalam upaya pemberantasan korupsi sesuai dengan dasar pembentukan KPK pada awalnya.
Selain itu, menghilangkan tugas KPK dalam melakukan penuntutan nampaknya kurang tepat dilakukan karena hal tersebut akan membuat KPK menjadi lembaga biasa yang tidak memiliki kekhususan lagi. Jadi, peniadaan unsur penuntutan tidaklah relevan dengan dasar pembentukan KPK.
Menurut pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuanmeningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upayapemberantasan tindak pidana korupsi.
Dikaitkan dengan tujuan pembentukan KPK, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai peniadaan unsur penuntutan dalam tugas KPK tentu saja tidaklah relevan. Meniadakan unsur penuntutan akan mengurangi wewenang KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. KPK akan mempunyai keterbatasan dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus korupsi yang telah ditangani oleh KPK belum tentu akan ditindaklanjuti oleh kejaksaan dengan penuntutan sesuai dengan yang sebagaimana seharusnya dilakukan oleh KPK. Kinerja KPK akan terhambat. Pemberantasan kasus korupsi oleh KPK tidak akan berjalan maksimal karena KPK tidak menangani secara langsung penuntutan kasus yang telah diselidiki dan disidiknya. Tujuan pembentukan KPK untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi rasanya akan terhambat bahkan tidak akan tercapai dengan keadaan demikian.
Dengan demikian, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai peniadaan unsur penuntutan dalam tugas KPK jika dikaitkan dengan dasar dan tujuan pembentukan KPK tidaklah urgen.
KESIMPULAN
1.Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai peniadaan unsur penuntutan dalam tugas KPK jika dikaitkan dengan dasar dan tujuan pembentukan KPK tentu saja tidaklah urgen karena revisi tersebut ternyata tidak relevan dengan dasar dan tujuan pembentukan KPK tersebut.
SARAN
Draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ternyata tidak relevan dengan dasar dan tujuan pembentukan KPK. Draf usulan revisi tersebut bertentangan dengan salah satu dasar pembentukan KPK, yaitu KPK dibentuk menimbang bahwa lembaga hukum yang berwenang belum efektif dan efisien dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Revisi tersebut dapat mengembalikan keadaan pemberantasan korupsi seperti dulu sebelum ada KPK menjadi tidak efektif dan efisien. Selain itu, revisi tersebut tidak sesuai dengan tujuan pembentukan KPK. Tujuan pembentukan KPK untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi rasanya akan terhambat atau bahkan tidak akan tercapai sama sekali dengan pengurangan wewenang KPK yang tercantum dalam revisi tersebut.
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pengurangan kewenangan KPK sepertinya terlalu dini dilakukan sebab masih banyak permasalahan korupsi di Indonesia yang belum dapat diselesaikan. Sebaliknya, sebaiknya pemerintah memberikan kewenangan yang lebih lagi kepada KPK namun dengan batas yang tertentu pula sehingga fungsi dan tujuan pembentukan KPK dapat dilaksanakan sebaik mungkin. Oleh karena itu, draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebaiknya dikaji ulang agar sesuai dengan dasar dan tujuan pembentukan KPK sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi dapat terlaksana lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
http://politik.kompasiana.com/2012/09/24/wacana-revisi-uu-kpk-kebablasan-496232.html
http://news.okezone.com/read/2012/10/01/339/697345/ini-pasal-pasal-pelemahan-ruu-kpk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H