Mohon tunggu...
Kemas Achmad Mujoko
Kemas Achmad Mujoko Mohon Tunggu... Sociology of Development Student, Universitas Negeri Jakarta -

Equivalent Exchange

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Solat Jumat dan Ritus Maskulinitas

28 Desember 2015   19:03 Diperbarui: 15 Januari 2016   13:23 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menurut saya lucu ketika saya melakukan ibadah salat Jumat. Hal yang paling saya ingat ketika saya masih bersekolah dasar adalah saya selalu berusaha datang lebih awal untuk mendapatkan tempat duduk paling depan, dan tentunya dengan motivasi saya agar saya bisa mendapatkan satu sejadah penuh—yang nyatanya tidak pernah saya dapatkan dulu. Meskipun saya datang selalu lebih awal, namun ketika jamaah datang bermunculan setelah khotbah selesai, tempat saya selalu direbut orang sehingga saya harus duduk sempit.

Jujur saja, saya tidak pernah mengerti apa yang Khotib katakan ketika ceramah Jumat, saya bingung, berbicara dengan nada sangat menekan dan penuh semangat. Namun di sekitar saya, saya melihat semua orang menunduk. Pernah sekali waktu saya melongok untuk memastikan apa yang terjadi pada orang di samping saya. Ia tertidur. Saya semakin sadar akan realitas sosial ini ketika saya menginjak bangku SMP. Saya pernah mendengar teman saya—kebetulan ia non muslim. “lo gak solat jumat?” kebetulan saat itu di minggu pertama hari efektif belajar sehingga masih banyak siswa yang tidak tahu identitas agama masing-masing. Namun saya menyadari, dan semakin dewasa saya, hingga tahun kemarin ketika saya masih duduk di bangku SMA, saya mendengar sebuah “Meme”(sebuah gambar berisikan guyonan) yang berkata: cowok yang salat Jumat itu lebih ganteng.

Lalu saya semakin berpikir, apakah salat Jumat merupakan sebuah ibadah, atau hanya fakta sosial semata? Individu atau sosial? Kemauan atau paksaan? Ganteng atau muslim? Konsep ini menjadi sangat kabur hingga saya diceramahi oleh dosen saya, “ah, salat yang kamu lakukan hannyalah ritus!”. Jujur saja, saya juga pernah berpikir tentang ritus ini sejak saya SMP. Saya pernah diajari guru mengaji saya arti dari setiap doa yang saya lantunkan ketika Shalat. Mulai dari niat hingga tasyahud akhir. Saya mulai bertanya, jika saya Shalat dan hanya melantunkan doa-doa yang saya tidak mengerti artinya, bukankah akan sia-sia saja, saya ibaratkan berolahraga yang kemudian membicarakan orang (siapa tahu?)—mungkin lebih baik membicarakan orang setidaknya saya tahu apa yang saya bicarakan.

Menurut saya, Shalat Jumat tidak lagi merupakan sebuah kesadaran individu, namun sudah menjadi fakta sosial. Coba lihat, apakah merasa aneh melihat laki-laki yang berkeliaran ketika Shalat Jumat? Meskipun Anda tidak tahu dia seorang muslim atau bukan. Kesadaran individu ini mungkin menurut Bourdieu sudah bergeser menjadi habitus dari individu yang telah bermetamorfosis menjadi Hexis (bukan dalam konteks barang).

Apakah kamu berperawakan Jawa? Dan kamu non muslim? Cobalah keluar rumah di siang hari dan berkumpul dengan teman muslim barumu yang belum mengetahui agamamu. Pasti mereka akan menanyakan, kenapa gak sholat jumat? Mungkin penelitian ini belum dibuktikan dengan metode ilmiah apa pun. Namun saya juga pernah kebetulan tidak Shalat Jumat di daerah Jawa, Sulawesi, Ningxia (daratan muslim China) hingga Amsterdam. Saya keluar disiang hari dengan perawakan saya yang jawa. Saya ditanya oleh teman saya yang juga kebetulan orang muslim dengan pertanyaan yang sama. Menurut saya, Agama menjadi sebuah tebak-tebakan, menjadi sebuah sesuatu yang harus diketahui dan dilakukan. Mungkin kenapa orang menanyakan hal tersebut karena ia sedang menebak. Dan atau lebih parahnya, salah satu manifestasi maskulinitas adalah Shalat Jumat.

Shalat Jumat menjadi manifestasi maskulinitas? Menurut saya seperti itu. Saya juga melihat pembenaran dari seorang teman saya yang seorang transmen. Seorang perempuan biologis yang memerankan identitas gender laki-laki. Di hari Jumat, ia turut ikut Shalat Jumat dengan peran laki-lakinya. Bukan hanya dari teman saya yang satu ini, banyak teman-teman saya (cis-gender) yang tidak pernah Shalat 5 waktu, namun ketika Shalat Jumat ia turut Shalat.

Terlepas dari konsep maskulinitas terhadap salat Jumat, saya juga memperhatikan tentang ritus dari salat Jumat. Selain karena misalnya dibuktikan dari tidurnya para jemaat, dan teman saya yang hanya salat seminggu sekali—salat Jumat. Shalat Jumat seharusnya dilandaskan karena keimanan seseorang, bukan karena apa yang diinginkan dan distereotipkan oleh masyarakat.

Pernah juga saya diceritakan dari ayah saya tentang sejarah salat Jumat ini, saya juga tidak tahu benar atau tidak. Menurutnya, Shalat Jumat dulu ada untuk membedakan muslim dengan kristiani. Dulunya kaum Nasrani beribadah di hari minggu, karena Islam tidak mau kalah maka ia menciptakan ibadah di hari Jumat dan jadilah Shalat Jumat. Namun yang masih saya pertanyakan, kenapa harus untuk laki-laki saja? Hegemoni maskulinitas? Karena agama adalah bentukan laki-laki? Mungkin saja.

Tapi sebentar, kebetulan saya pernah diceritakan seorang teman tentang Shalat Jumat di sebuah kota kecil bagian utara Kanada. Di sana mungkin sedikit berbeda (bagi teman saya), di sana ia melihat bahwa Shalat Jumat bukan hanya milik laki-laki, namun juga milik perempuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun