Ada banyak macam pencurian, dari sandal jepit di depan Masjid, barang berharga, perhiasan, hingga dana kampanye, uang proyek negara, dan jatah impor daging sapi pun bisa dicuri. Tetapi ada pencurian yang sangat luar biasa terjadi di Bogor; di sana gunung yang dicuri.
Begini latar belakang kejadiannya: Ketika ada warganegara yang membeli atau memiliki properti di sebuah kota, yang dibeli dan dimiliki oleh warganegara tersebut adalah terbatas pada tanah, air, dan ruang di atasnya sesuai dengan bentuk dan ukuran yang tertera pada sertifikat.
Batasan tersebut akan ditambah lagi dengan pembatasan-pembatasan lain yang ditetapkan oleh pemerintah demi kepentingan umum, yaitu warganegara yang walaupun tidak ikut memiliki suatu tanah tetapi kepentingannya dapat ikut terpengaruhi oleh kepemilikan, aktivitas, dan pengolahan dari tanah tersebut.
Misalnya, ketika hendak mengolah suatu kavling tanah, sebelum yang lain-lainnya seorang arsitek akan terlebih dahulu berusaha untuk mengetahui peraturan-peraturan di kavling yang akan dikerjakan; antara lain Garis Sempadan Jalan (GSJ), Garis Sempadan Bangunan (GSB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Daerah Hijau (KDH), Koefisien Luas Bangunan (KLB), dan Ketinggian Bangunan maksimal yang diizinkan.
Kalau hendak disimpulkan, semua peraturan tersebut kira-kira mengatur bahwa suatu pengolahan atas tanah harus juga mempertimbangkan unsur keindahan ruang secara keseluruhan, keserasian, kesehatan, ketercukupan udara dan cahaya matahari, ketercukupan resapan air di muka tanah, dan ketercukupan penghijauan.
Seperti juga jaminan atas kepemilikan atas tanah itu sendiri, pembatasan-pembatasan atas kepemilikan tersebut pun diatur di dalam undang-undang yang sama; yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Di pasal 6, dikatakan: "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial."
Perundang-undangan tersebut pada dasarnya sangat mementingkan kepentingan umum, sehingga bahkan dikatakan juga di pasal 7: "Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan."
Dan di pasal 18: "Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang."
***
Nah, yang menjadi masalah, di Bogor ada hak publik yang ikut terenggut ketika di beberapa tempat dilakukan pengolahan tanah. Hak tersebut adalah hak untuk mengakses pemandangan dan keindahan kota, hak untuk dapat melihat gunung Gede, gunung Pangrango, dan gunung Salak di kejauhan, dengan lembah-lembah di kakinya, dengan awan tipis yang menyelimutinya; di jalan Pajajaran, di jalan Jenderal Sudirman, di Jalan Ir. H. Juanda, dan di berbagai tempat lainnya.
Sama seperti hangat sinar matahari yang kuning di sore hari, juga sama dengan nikmatnya berteduh di bawah bayangan pohon Kelor Laut di tengah hari, atau merenung dan mendengarkan kicau burung yang dilatari oleh deru air sungai Ciliwung, pemandangan yang bisa dilihat dari suatu kota adalah kekayaan yang seharusnya selalu bisa diakses dengan bebas oleh warganya.