Permasalahan likuiditas merupakan hal yang sering terjadi pada industri asuransi. Dalam konteks ini, permasalahan likuiditas merupakan ketidakmampuan sebuah perusahaan untuk memenuhi kewajibannya sebelum jatuh tempo (Riyanto, 2008). Salah satu contoh masalah likuiditas yang terjadi pada perusahaan asuransi adalah kasus Asuransi Jiwasraya yang terjadi pada tahun 2019 silam. Kerugian dari permasalahan likuiditas tersebut adalah ekuitas negatif sebanyak Rp23,92 triliun pada tahun 2019 serta kerugian negara hingga Rp16,8 triliun. Alhasil, kerugian tersebut menyebabkan kegagalan untuk membayar klaim polis nasabah yang pada akhirnya menyebabkan penyusutan jumlah transaksi di pasar modal. Selebihnya, banyaknya permasalahan yang terjadi pada industri asuransi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sekuritas dan kredibilitas industri asuransi (Rahardjo, 2020).
Lantas, bagaimana kasus semasif itu dapat terjadi?
Salah satu faktor pendukung atas kejadian tersebut adalah keputusan direksi yang tidak hati-hati dalam membuat produk investasi. Sebagai contoh, Jiwasraya mengeluarkan saving plan yang menjanjikan return 9% hingga 14%. Hal tersebut tergolong high return karena jika dibandingkan dengan investasi di perbankan, rata-rata posisi return pada tingkat 8% hingga 9%. Adanya pengeluaran jenis saving plan dan lemahnya standar protokol dalam mengalokasikan dana menyebabkan Jiwasraya mengumumkan gagal bayar. Selain itu, kondisi tersebut diperparah dengan lemahnya praktik Good Corporate Governance. Bereferensi kepada masalah-masalah tersebut, Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntansi Indonesia (DSAK IAI) menerbitkan PSAK 74 yang akan berlaku secara efektif pada 1 Januari 2025 untuk mengganti pencatatan kontrak asuransi dengan PSAK 62.Â
Awalnya, pencatatan kontrak asuransi berpedoman pada PSAK 62. Namun, karena PSAK 62 merupakan standar akuntansi untuk asuransi interim (sementara), terdapat berbagai kekurangan apabila berpedoman pada standar tersebut. Salah satunya adalah kerentanan untuk berpacu pada informasi yang bersifat outdated. Hal ini disebabkan oleh hakikat bahwa kontrak pada industri asuransi umumnya bersifat jangka panjang sehingga standar akuntansi yang bersifat interim tidak tepat untuk jenis kontrak tersebut. Kekurangan lainnya adalah pengukuran expected investment return in assets banyak dipakai berdasarkan liabilitas. Realitanya, liabilitas tidak bergantung pada kinerja investasi. Selain itu, pengakuan secara cash basis dapat menimbulkan selisih tunai antara nilai masa kini dengan masa depan yang akan dibayarkan ketika jasa asuransi diberikan pada periode yang berbeda. Alhasil, nilai waktu uang tidak tercermin dan informasi mengenai resources of profit tidak jelas. Melalui hal tersebut, dampak utama dari kelemahan yang sudah dipaparkan sebelumnya adalah timbulnya overstatement of profits. Sebagai contoh, pada konteks kasus Asuransi Jiwasraya, laba interim yang awalnya tercatat sebanyak Rp2,4 triliun seharusnya hanya dicatat sebanyak Rp428 miliar.Â
Penerapan PSAK 74 oleh OJK dan DSAK IAI
Menanggapi penurunan kepercayaan masyarakat dan kelemahan yang sudah dijelaskan sebelumnya, DSAK IAI menerbitkan PSAK 74 tentang Kontrak Asuransi yang mulai efektif pada tahun 2025 mendatang. PSAK 74 yang diadopsi dari IFRS 17 tersebut diharap dapat mengatasi isu asymmetric information yang telah menyulitkan pemangku kepentingan, seperti konsumen, investor, dan regulator. Selebihnya, keberadaan PSAK 74 sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang berisi mengenai kewajiban untuk Pelaku Usaha Sektor Keuangan (PUSK) untuk menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan standar laporan keuangan yang ditetapkan oleh Komite Standar Laporan Keuangan. Selain itu, penerapan PSAK 74 sangat krusial karena industri asuransi memegang peran penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebagai provider jasa pengelolaan masyarakat dan pelaku usaha serta sebagai investor yang memenuhi kebutuhan pendanaan jangka panjang.Â
Penerbitan PSAK 74 akan mengganti keberadaan PSAK 62 sebagai standar akuntansi untuk industri asuransi yang dipakai saat ini. Berikut merupakan perbedaan dari keduanya menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI):Â
IAI serta OJK telah mengambil langkah aktif untuk mendorong penerapan dan pengimplementasian PSAK 74. Langkah aktif tersebut meliputi pembentukan Steering Committee yang beranggotakan perwakilan dari Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Ikatan Akuntan Indonesia, Institut Akuntan Publik Indonesia, Persatuan Aktuaris Indonesia, dan lain-lain. Keberadaan Steering Committee bertujuan untuk mengantisipasi dan mengatasi kendala yang dihadapi pada level teknis operasional. Selain itu, penerapan PSAK 74 juga telah dikomunikasikan oleh OJK dengan World Bank, IMF, dan perusahaan asuransi internasional lainnya untuk penyelenggaraan knowledge sharing dan membantu dalam technical assistance.Â
Terdapat beragam dampak yang ditimbulkan setelah penerapan PSAK 74. Salah satunya adalah penjualan premi perusahaan asuransi yang tidak dapat diakui secara langsung sebagai pendapatan seluruhnya. Pendapatan yang dapat diakui hanya margin/profit yang dihitung berkala secara aktuarial. Selain itu, penerapan PSAK 74 akan menciptakan informasi yang lebih diperbaharui, tingkat diskonto yang lebih merefleksikan karakteristik dari cash flow pada setiap asuransi, serta praktik akuntansi yang konsisten untuk setiap asuransi. Selanjutnya, penerapan PSAK 74 akan mencerminkan nilai waktu uang dengan lebih akurat. Hal ini mempunyai tujuan untuk memperbaiki isu asymmetric information dan diharapkan dapat meningkatkan transparansi laporan keuangan. Perbaikan tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi pada beberapa pelaku industri asuransi yang pada akhirnya akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas dan kualitas industri asuransi di Indonesia.Â